MAKALAH
TEORI POLITIK
HUBUNGAN
ANTARA NEGARA (STATE) DENGAN CIVIL SOCIETY (MASYARAKAT MADANI)
Disusun
guna memenuhi tugas mata kuliah Teori Politik
Dengan
Dosen Pengampu : Nasiwan, M.Si.
Disusun Oleh:
Dwi
Agung 10401244009
Rahma
Putri Damayanti 10401244008
Devi
Nurhayatiningsih 10401244012
Rofiyani 10401244017
Eman
Setiati 10401244023
Moch.
Urip Wahyu 10401244025
Pendidikan Kewarganegaraan dan
Hukum
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Yogyakarta
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Makalah ini
dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Politik.
Makalah ini memuat
pengertian negara, civil society serta
hubungan antara negara dan civil society.
Terima kasih kami sampaikan kepada Nasiwan, M.Si sebagai pengampu mata kuliah Teori Politik,
teman-teman kelompok yang telah membantu
sehingga makalah ini terselesaikan. Meskipun kami sudah berusaha semaksimal
mungkin, namun keterbatasan yang ada pada diri kami menyebabkan kurang
sempurnanya makalah ini. Oleh karena
itu, kritik dan saran kami harapkan. Terima kasih.
Hormat
kami,
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................. 1
A.
Latar
Belakang..................................................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah................................................................................................ 2
C.
Tujuan.................................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................. 2
A.
Civil Society
(Masyarakat Madani)..................................................................... 3
B.
State (Negara)...................................................................................................... 7
C.
Hubungan Antara
Civil Society (Masyarakat Madani) dan State (Negara)........ 11
BAB III KESIMPULAN................................................................................................... 14
Daftar Pustaka.................................................................................................................... 15
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perhatian pada masalah politik di Indonesia telah
menjangkau masyarakat yang sangat luas. Tidak hanya itu, perhatian terhadap
bentuk pemahaman yang dapat dikatakan baru dalam ilmu politik, juga melewati
batas keilmuan itu sendiri. Hal ini, barangkali, merupakan catatan tersendiri
untuk kondisi masyarakat Indonesia, karena sangat jarang ditemui di dalam
masyarakat lain. Ambil contoh, sekelompok mahasiswa dari sebuah institut
teknologi membicarakan salah satu paradigma dalam ilmu politik, yang seharusnya
menjadi kajian utama mahasiswa ilmu politik. Kita tidak akan atau paling tidak
sulit menemukan di Singapura, misalnya, mahasiswa electrical engineering, atau
mahasiswa arsitektur dan teknik sipil, membicarakan sebuah teori dalam ilmu
politik. Karena mereka tahu, bahwa hal itu di luar, bahkan jauh melewati batas
kompetensi keilmuannya. (Afan Gaffar, 2006: 175)
Di sini, semua orang punya peluang untuk menjadi
pakar politik, sekalipun tidak mempunyai latar belakang yang cukup tentang itu.
Sepanjang dia menulis dan berbicara di seminar, kemudian media mengeksposnya,
maka jadilah ia seorang pakar politik. Ketika pada 1970-an di Indonesia terjadi
pengenalan dan perubahan cara pandang dalam ilmu politik, yakni dari pemahaman
yang bersifat formal legalistik ke pendekatan sistem politik sebagai dampak
perkembangan behavioralism dalam ilmu politik, dengan serta-merta orang
berbicara tentang system politik Indonesia, pendekatan yang sistemik, dan lain
sebagainya. Kemudian, ketika perhatian beralih dari pendekatan yang bersifat
sistemik ke pendekatan yang bersifat struktural, yakni bersamaan dengan
munculnya kaum neo-Marxist dalam ilmu poltik ekonomi, dengan serta-merta pula
banyak kalangan yang dengan meyakinkan berbicara tentang pendekatan baru
tersebut. Keduanya dilakukan tanpa memahami dasar-dasar pemikiran yang jelas
cara pandang yang dapat dikatakan baru pada waktu itu. Kemudian, masuk dekade
1990-an, orang banyak berbicara tentang civil society yang oleh kalangan Islam
disebut sebagai masyarakat madani. Semua orang, baik ilmuwan politik maupun
yang bukan, politisi dan aktifis, kalangan sipil dan militer, lantas berbicara
tentang itu. Sekalipun banyak di antara mereka yang hanya memahami lewat Koran
atau melalui diskusi atau seminar. Akibatnya, tidak jarang terjadi salah kaprah
dalam memberikan interpretasi tentang konsep dasar apa yang disebut sebagai
civil society. Dan tidak jarang pula ada yang memahami dengan melihat civil
society sebagai masyarakat sipil vis a vis militer dalam kehidupan politik di
Indonesia. Tampaknya, perhatian kita saat ini semuanya terarah kepada civil
society. Semua orang membicarakan itu. (Afan Gaffar, 2006: 176-177)
B.
Rumusan
Masalah
1. Apakah
pengertian dari state (negara)?
2. Apakah
pengertian dari civil society (masyarakat madani)?
3. Bagaimanakah
hubungan antara negara (state) dan civil society (masyarakat madani) ?
C.
Manfaat
1. Agar
mengetahui pengertian dari state (negara).
2. Agar
mengetahui pengertian dari civil society (masyarakat madani).
3. Agar
dapat mengetahui hubungan antara negara (state) dan civil society (masyarakat
madani).
BAB II
PEMBAHASAN
A.
State
(Negara)
Negara merupakan integrasi dari
kekuasaan politik, negara adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik.
Negara adalah alat (agency) dari
masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam
masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat. Manusia
hidup dalam suasana kerjasama sekaligus suasana antagonis dan penuh
pertentangan. Negara adalah organisasi yang dalam suatu wilayah dapat
melaksanakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya
dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu. Negara
menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai di mana kekuasaan dapat digunakan
dalam kehidupan bersama, baik oleh individu, golongan atau asosiasi, maupun
oleh negara sendiri. Dengan demikian negara dapat mengintegrasikan dan
membimbing kegiatan-kegiatan sosial dari penduduknya ke arah tujuan bersama.
Dalam rangka ini boleh dikatakan bahwa negara mempunyai dua tugas :
a. Mengendalikan
dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang asosial, yakni yang bertentangan satu
sama lain, supaya tidak menjadi antagonis yang membahayakan;
b. Mengorganisir
dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan-golongan ke arah tercapainya
tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya. Negara menentukan bagaimana
kegiatan-kegiatan asosiasi-asosiasi kemasyarakatan disesuaikan satu sama lain
dan diarahkan kepada tujuan Nasional. (Mirriam, 2007 : 47-48)
Pengendalian ini dilakukan berdasarkan
sistem hukum dan dengan perantaraan pemerintah beserta segala alat
perlengkapannya. Kekuasaan negara mempunyai organisasi yang paling kuat dan
teratur, maka dari itu semua golongan atau asosiasi yang memperjuangkan
kekuasaan harus dapat menempatkan diri dalam rangka ini. (Mirriam, 2007 : 48)
Disajikan
beberapa rumusan mengenai negara :
1. Roger
H. Soltau : “Negara adalah agen (agency)
atau kewenangan (authority) yang
mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat (the state is an agency or authority managing or controlling these (common) affairs on behalf of and in the name of the community).”
2. Harold
J. Laski : “Negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai
wewenang yang bersifat dan yang secara sah lebih berkuasa daripada individu
atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat. Masyarakat adalah suatu
kelompok manusia yang hidup dan bekerjasama untuk memenuhi terkabulnya
keinginan-keinginan mereka bersama. Masyarakat merupakan negara kalau cara
hidup yang harus ditaati baik oleh individu maupun oleh asosiasi-asosiasi
ditentukan oleh suatu wewenang yang bersifat wewenang yang bersifat memaksa dan
mengikat. (The state is a society which
is integrated by possesing a coercive authority legally supreme over any
individual or grup which is part of tyhe society. A society is group of human
beings living together for the satisfication of their mutual wants. Such a
society is a state when the way of live to which both individuals and
associations must conform is defined by a coercive authority binding upon them
all)”
3. Max
Weber :”Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan
kekerasan fisik secara fisik dalam suatu wilayah (The state is a human society that (succesfully) calims the
monopoli of the legitimate use of physical force within a given territory).”
4. Robert
M. Maclver: “Negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam
suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang
diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberi
kekuatan memaksa (The state is an
association which, acting athough law as pormulgated by a government endowed to
this end with ceorcive power, maintains whitin a community territorially
demarcated the universal external conditions of social order).” (Mirriam,
2007 : 48-49)
Jadi, sebagai definisi umum dapat
dikatakan bahwa negara adalah suatu daerah territorial yang rakyatnya
diperintah (governed) oleh sejumlah
pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan
perundang-undangannya melalui penguasaan (kontrol) monopolistis terhadap
kekuasaan yang sah. (Mirriam, 2007 : 48-49)
B.
Civil
Society (Masyarakat Madani)
Apa yang dimaksud dengan civil society?
Bagaimana hubungannya dengan negara ? Ada yang menekankan kepada ruang, di mana
individu dan kelompok dalam masyarakat dapat saling berinteraksi dengan
semangat toleransi. Di dalam ruang tersebut, masyarakat dapat melakukan
partisipasi dalam pembentukan kebijaksanaan publik dalam suatu negara.(Afan
Gaffar, 2006: 177)
Civil
society secara terminologis dapat diartikan masyarakat
sipil, masyarakat kewarganegaraan, masyarakat beradab, atau masyarakat
berbudaya. Jadi civil society dapat dipahami sebagai sebuah ruang (space)
sebuah Negara, di mana di dalamnya hidup sekelompok individu dengan semangat
toleransi yang tinggi dalam jalinan komunikasi dan interaksi yang sehat, serta
terwujudnya partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan public.
Ada juga yang memahami civil society sebagai asosiasi masyarakat yang beradab
sukarela hidup dalam suatu tatanan sosial yang membedakan dengan jelas di mana
letak urusan individu dengan urusan kolektif, dan terjadi mobilitas yang tinggi
dalam masyarakat, dan terbangun atas dasar jiwa sukarela jaringan kerjasama
antar seluruh elemen masyarakat. (Nasiwan, 2010: 158)
Menurut John Locke, civil society adalah sebuah Negara di mana manusianya hidup dalam
kedamaian, kebajikan, saling melindungi, kebebasan yang merdeka, terjamin dari
rasa takut, bermoral, serta setara dalam status sosial dan aspek lainnya dalam
artian tidak ditemukannya berbagai kesenjangan sosial. (Nasiwan, 2010: 158)
Sementara itu, Victor Perez-Diaz lebih menekankan
pada suatu proses sejarah yang tak terputuskan, terutama di negara-negara
sekitar Atlantik Utara, yang telah menciptakan sebuah sistem ekonomi dan
politik yang memiliki karakter tertentu yang telah melembaga. Perez-diaz di
sini menekankan makna civil society pada keadaan masyarakat yang telah
mengalami pemerintahan yang terbatas, kebebasan, ekonomi pasar, dan timbulnya
asosiasi-asosiasi masyarakat yang mandiri, di mana satu sama lainnya saling
menopang. (Afan Gaffar, 2006: 178)
Secara subtantif konsep civil society dijabarkan kedalam pengertian menurut beberapa pakar
politik, antara lain:
1. Menurut
M. Dawam Raharjo, civil society
merupakan suatu ruang partisipasi masyarakat, dalam perkumpulan-perkumpulan
sukarela (voluntary association), seperti golongan berdasar profesi, kaum buruh
dalam serikat buruh, tani gereja atau perkumpulan atas dasar keagamaan,
sehingga terbentuk masyarakat etis, progresif untuk membangun peradaban yang
unggul. Beberapa capaian yang menjadi indicator terbentuknya masyarakat madani
menurut Raharjo antara lain bila rakyat memiliki kekuasaan secara kharismatik
berupa ketajaman rasio, yang nantinya mendorong mereka menuju keadaan yang
lebih baik secara umum, berpotensi memanajemen diri sendiri dengan logis dan
merdeka, terdapat organisasi yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan dan
kepentingan public, dan berkekuatan dalam tiga aspek inti yaitu agama,
peradaban, dan perkotaan. (Nasiwan, 2010: 159)
2. Menurut
Franz Magnis Suseno, Indikator masyarakat madani atau civil society adalah pendekatan terhadap rakyat yang diberlakukan
adalah pendekatan factual bukan pendekatan normayif, terorganisir dengan rapi,
sukarela, swasembada, swadaya, mandiri, terikat dengan norma-norma atau
nilai-nilai hukum yang dipatuhi rakyat, di mana mereka dibebaskan secara
internal, diatur oleh pihak yang dapat menjamin kebebasan segenap warga
masyarakat, individu, dan kolektif untuk mewujudkan kehidupan menurut cita-cita
mereka sendiri dalam kehidupan bersama yang didukung consensus dasar.
wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisir yang didasari jiwa sukarela,
swasembada, swadaya, dengan kemandirian yang tinggi, enjunjung tinggi
norma-norma atau nilai-nilai hukum yang dipatuhi rakyat. Atau merupakan wilayah
dalam ruang politik yang menjamin keberlangsungan perilaku, tindakan dan
refleksi madiri, dan tidak terbatasi kondisi kehidupan material, dan tidak
terserap dalam jaringan-jaringan kelembagaan politik. (Nasiwan, 2010: 159)
3. Menurut
Nurcholis Madjid, masyarakat madani berasal dari kata madinah, dalam
peristilahan modern, mengarah kepada semangat dan pengertian civil society yang berarti masyarakat
yang memiliki sopan santun, beradab dan teratur yang terbentuk dalam Negara
yang baik. Di dalam Negara ini terdapat kedaulatan rakyat sebagai prinsip
kemanusiaan dan musyawarah, terdapat partisipasi aktif dari masyarakat secara
aktif dalam proses-proses menentukan kehidupan bersama di bidang politik,
rakyat bersikap terbuka, lapang dada, pengertian dan bersedia untuk member maaf
terhadap permasalahan yang timbul. (Nasiwan, 2010: 160)
4. Menurut
Riswandha Imawan, masyarakat madani adalah konsep sebuah masyarakat di mana
mereka hidup dalam kondisi mampu memiliki etos kerja untuk meningkatkan
kualitas diri dan hidupnya dalam penciptaan kreativitas mandiri, dimnana Negara
tidak dapat mencampuridengan bebas akan tetapi mereka tetap mematuhi
perundangan dan peraturan yang berlaku. Hal ini berangkat dari keinginan rakyat
untuk membangun suatu kesejajaran antara warga Negara dan Negara yang berlandas
pada prinsip saling menghormati dan menghargai, berkeinginan membangun hubungan
konsultatif di antara Negara dengan rakyatnya, warga mampu bersikap dan
berperilaku sebagai warga Negara yang bebas dan memiliki keterjaminan hak,
dimana hak persamaan dan kesetaraan dijunjung tinggi, memperlakukan semua warga
Negara sebagai pemegang hak dan kebebasan yang sama. (Nasiwan, 2010: 160-161)
5. Adi
Suryadi Culla, berpendapat bahwa civil
society adalah keadaan suatu masyarakat yang dikelompokkan sehingga
membentuk kelompok-kelompok sosial yang memiliki kekuasaan dan sifat otonom
terhadap Negara. (Nasiwan, 2010: 160)
6. Fahmi
Huwaydi, berpendapat bahwa masyarakat madani merupakan simbol bagi realitas
yang dipenuhi berbagai control fakultatif, yang terekspresikan dalam munculnya
keberadaan masyarakat, dan mereka menciptakan berbagai serikat dan lembaga non
government sebagai kekuasaan tandingan dari lembaga yang berkuasa.
Diejawantahkan dalam pembentukan berbagai partai, kelompok, himpunan, ikatan
dengan berbagai varian yang tidak memiliki kaitan dengan struktur kenegaraan.
(Nasiwan, 2010: 158)
7. Ernest
Gellner berpendapat bahwa civil society adalah masyarakat terbangun atas dasar
berbagai NEGO (Non Government Organization) yang bersifat otonom dan tangguh
untuk menjadi penetral kekuasaan Negara. Mereka tidak tersentuh herarki
politik, ekonomi, ideology yang tidak mentolerir adanya kompetisi, bervisi
plural dalam memaknai kebenaran dan menentukan parameter kebenaran secara
bersama-sama, terdapat desentralisasi pada segenap aspek kehidupan, terciptanya
tatanan sosial masyarakat yang harmonis, dan bebas dari segalabentuk ekspoitasi
terlebih penindasan, tidak memerlukan penguatan yang bersifat memaksa, sehingga
di sini pemerintah berfungsi sebagai pencipta dan penjaga perdamaian di antara
berbagai kepentingan. (Nasiwan, 2010: 161-162)
Terdapat lima poin
penting dalam civil society, antara lain:
1. Partisipasi
rakyat, rakyat dalam sebuah masyarakat madani tidak akan bergantung secara
penuh terhadap Negara, akan tetapi ia akan berupaya meningkatkan kualitas hidup
dan dirinya secara mandiri. Mereka lebih memilih untuk menentukan masa depannya
sendiri, bahkan tidak terlalu bergantung pada segala bentuk program pemerintah
yang merupakan sebentuk stimulant bagi bangkitnya kesadaran swadaya, swasembada
rakyat. (Nasiwan, 2010: 162)
2. Otonom,
artinya sebagai masyarakat yang berupaya memenuhi kebutuhannya sendiri, selalu
mngembangkan daya kreatifitas untuk memperoleh kebahagiaan dan memenuhi
tuntutan hidup secara bebas dan mandiri, dengan tetap mengacu pada perundangan
dan hukum yang berlaku. (Nasiwan, 2010: 162)
3. Tidak
bebas nilai, masyarakat madani sangat menjunjung tinggi nilai-nilai moral kemanusiaan
agar apa yang dikerjakan selalu berada dalam jalur kebajikan dan menghasilkan
dampak positif yang membangun dirinya (masyarakat) secara umum, yang bersumber
pasa sisi-sisi religi, unggah-ungguh yang berlaku, menjelma dan mengakar dalam
budaya masyarakat. (Nasiwan, 2010: 162)
4. Menjunjung
tinggi rasa saling menghargai, menghormati dan menerima segala bentuk perbedaan
(pluralitas), sehingga dalam kedamaian sosial yang dibangun terpancar keindahan
ragam perbedaan yang memperkaya budaya dan menjadi nilai lebih yang positif,
masyarakat madani haruslah meletakan permasalahan di atas perbedaan, sehingga
tidak ditemui pertikaian antar kelompok yang berbau SARA. (Nasiwan, 2010:
162-163)
5. Terwujud
dalam badan organisir yang rapi, modern dalam upaya penciptaan hubungan stabil
antar elemen masyarakat. (Nasiwan, 2010: 163)
Berbicara masalah civil society berarti tidak
melupakan transformasi sosial, sebagi manifestasi langkah yang diambil dan
ketertekanan yang mendalam akibat hegemoni yang berkuasa, sehingga masyarakat
berkumpul untuk membentuk kekuasaan tandingan, untuk menuntut suatu keadilan
sosial. Langkah ini dianggap sebagai tanggapan langsung dari arus bawah
terhadap rezim yang berkuasa, kemudian kekuatan sosial yang terbangun atas
keluasan gerakan, jaringan dan organisasi dengan tujuan tertentu. Arus bawah cenderung memilih langkah frontal
untuk merealisasikan cita-citanya terhadap kekuasaan politis dengan berbagai
aksi yang dilancarkan seperti demonstrasi, mogok makan atau mogok kerja secara
kolektif, berbeda lagi dengan langkah yang diambil oleh para seniman, mereka menyuarakan
keresahan melalui kekuatan tulisan mereka dengan melancarkan berbagai kritik,
dan terdapat mereka yang memilih bergerak dalam wadah LSM. Lalu pendewasaan
masyarakat sipil dengan memperkuat wilayah religi atau gerakan tidak dengan
kekerasan agar pemerintah sebagai subjek sekuritas perdamaian tidak terhalangi
dalam melaksanakan kewajibannya. (Nasiwan, 2010: 163)
Civil Society
sebagai proyek peradaban dan pembangunan dapat direalisasikan terutama oleh
tiga agen utama, mereka adalah golongan intelektual atau mahasiswa sebagai
perubah pada aspek sosial politik, melalui berbagai ide inovatif kreatif mereka
dan sikap-sikap anti kemapanan, lalu golongan kelas menengah yang akan
diposisikan sebagai modal kekayaan demokratisasi dalam sebuah Negara, kemudian
golongan arus bawah, merekalah yang kelak menjadi sumber kekuatan, sekaligus
sebagai sasaran dan tujuan pemberdayaan politik. Selain itu, dibutuhkan adanya
organisasi sosial politik sebagai wadah kelompok kepentingan dengan kemandirian
yang tinggi, dibutuhkan juga public
sphere atau ruang gerak yang memadai untuk rakyat agar memiliki akses pada
lembaga-lembaga administrasi Negara, lembaga peradilan dan perwakilan maupun
NGO. (Nasiwan, 2010: 163-164)
Terdapat empat kelompok strategi yang dibentuk untuk
redemokratisasi, mereka adalah penghentian pemerintah rezim otoriter dengan
rakyat sebagai pemrakarsa, kemudian pakta yang didirikan oleh partai politik,
lalu pembrontakan terorganisir oleh kaum reformis, dan perang revolusi dalam
pegaruh ideologi Marxisme. (Nasiwan, 2010: 168)
Atas dasar pengaruh agama secara fundamental terhadap
cendekiawan muslim, yaitu berupa timbulnya kesadaran mengenai pandangan bahwa
untuk merealisasikan aspitrasipolitisnya tidak harus melalui politik formal.
Gerakan agama dalam masyarakat tudak hanya terbatas pada peranan agama sebagai
landasan ideology politik, kekuasaan Negara atau pun penguasaan politik, akan
tetapin ia juga berperan pada pedoman moral masyarakat dan sumber semangat
perwujudan keadilan sosial dalam civil society. Mengenai perihal civil society sendiri
masyarakat muslim telah memiliki konsep civil society jauh sebelum kosnep civil
society dicetuskan oleh kalangan ilmuwan politik Eropa, dalam bentuk senyatanya
ketika Rasulullah SAW beserta para Khurafaur Rasyidin memimpin kehalifahan di
Madinah, bahkan istilah civil society sendiri dalam versi Indonesia menyerap
istilah dari bahasa Arab yaitu masyarakat madinah yang kemudian lebih akrab
kita kenal dengan istilah masyarakat madani. (Nasiwan, 2010: 168-169)
Bila kita mengkaji lebih dalam mengenai
peranan agama dalam proses pembentukan civil society dan pengaruhnya terhadap
kehidupan sosial politik, dalam proses sosial empowerment, agama berkemampuan
untuk membimbing dan menyiapkan masyarakat untuk lebih berani berpartisipasi
politik, mewujudkan keadilan sosial, dan bangkit melawan penindasan
terhadapnya. Selain itu, agama mampu menguatkan dan menambah corak varian
diskursus dialektis mengenai masyarakat madani dengan memahamkan hal yang
esensinya mengarah pada keadilan sosial dan keterjaminan HAM, seperti dalam gagasan mengenai etika kerja,
persamaan hak, keadilan sosial, kemerdekaan dalam kesantunan dan kepatuhan
erundangan, peraturan yang berlaku, dengan sumber internal kualitas hubungan
transcendental individu. (Nasiwan, 2010: 169-170)
Pemikiran islam sebagai agama yang
mengakar dan dianut mayoritas masyarakat Indonesia dalam membangun civil
society diantaranya, berupa (Muhammad AS Hikam) :
1. Pemahaman
secara mendalam permasalahan modernitas dan modernisasi sebagai dampak dari
sekularisasi, ada tiga pemahaman mengenai sekularisasi antara lain sebagai
pembedaan wilayah keagamaan dengan urusan yang profane sebagai cirri khas dari
modernisasi. Dekandensi keyakinan akan Tuhan den keimanan, lalu yang terakhir
adalah memandang dan memperlakukan agama sebagai urusan pribadi.
2. Merevitalisasi
amal ibadah keagamaan praktis dalam masyarakat, sebagai penetral sekularisme
yang mengesampingkan urusan agama secara tegas. Dengan kembali mewacanakan
nilai-nilai keislaman yang berkaitan dengan toleransi, perlindungan HAM,
persamaan kedudukan, keadilan, sikap seimbang yang akan menopang diwujudkannya
masyarakat madani dalam aktualisasi nilai-nilai tersebut.
3. Partisipasi
aktif para intelektual dan aktivis muda muslim dan berkontribusi untuk memberdayakan
masyarakat.
4. Memperbesar
porsi partisipasi umat Islam dalam Civil society di tingkat global. (Nasiwan,
2010: 170)
Beralih pada pokok persoalan dengan
cendekiawan sebagai sentra diskursu civil society. Cendekiawan memiliki peranan
strategis sebagai konseptor strategi penguatan civil society dalam pembentukan
sosial masyarakat yang juga melaukan pendekatan transformatif. (Nasiwan, 2010:
170-171)
Karakteristik
masyarakat madani
Penyebutan
karakteristik masyarakat madani dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa dalam
merealisasikan wacana masyarakat madani diperlukan prasyarat-prasyarat yang
menjadi nilai universal dalam penegakan masyarakat madani. (Dede dkk,
2007:251).
1. Free
Public Sphere
Adanya
ruang publik yang bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat. Sebagai
sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan masyarakat madani
dalam sebuah tatanan masyarakat, maka free public sphere menjadi salah
satu bagian yang harus diperhatikan. Karena dengan menafikan adanya ruang
publik yang bebas dalam tatanan masyarakat madani, maka akan memungkinkan
terjadinya pembungkaman kebebasan warga Negara dalam menyalurkan aspirasinya
yang berkenaan dengan kepentingan umum oleh penguasa yang tiranik dan otoriter.
(Dede dkk, 2007:251).
2. Demokratis
Demokratis
berarti masyarakat dapat berlaku santun dalam pola hubungan interaksi dengan
masyarakat sekitarnya dengan tidak mempertimbangkan suku, ras, dan agama.
Penekanan demokrasi (demokratis) disini dapat mencakup sebagai bentuk aspek
kehidupan seperti politik, sosial, budaya, pendidikan dan ekonomi. (Dede dkk,
2007:251).
3. Toleran
Merupakan
sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukkan sikap saling
menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain. (Dede dkk,
2007:251).
4. Pluralisme
Pluralisme
tidak bisa dipahami hanya dengan sikap mengakui
dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk, tetapi harus disertai dengan
sikap yang tulus untuk menerima kenyataan pluralisme itu sebagai bernilai
positif, merupakan rahmat Tuhan. Menurut Nurcholish Madjid, konsep pluralisme
ini merupakan prasyarat bagi tegaknya masyarakat madani. Pluralisme menurutnya
adalah pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. (Dede
dkk, 2007:251).
5.
Keadilan sosial (social
justice)
Keadilan dimaksudkan untuk menyebutkan keseimbangan dan
pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang
mencakup seluruh aspek kehidupan. (Dede dkk, 2007:251).
Pilar penegak masyarakat madani
Yang dimaksud dengan pilar penegak
masyarakat madani adalah institusi-institusi yang menjadi bagian dari social
control yang berfungsi mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang
diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi maasyarakat yang tertindas.
Pilar-pilar tersebut antara lain:
1.
Lembaga Swadaya
Masyarakat
LSM dalam konteks masyarakat madani bertugas mengadakan empowering
(pemberdayaan) kepada masyarakat mengenai hal-hal yang signifikan dalam
kehidupan sehari-hari, seperti advokasi, pelatihan dan sosialisasi
program-program pembangunan masyarakat. (Dede dkk, 2007:251).
2.
Pers
Merupakan institusi yang penting dalam penegakan masyarakat
madani, karena memungkinkannya dapat mengkritisi dan menjadi bagian dari social
control yang dapat menganalisa serta mempublikasikan berbagai kebijakan
pemerintah yang berkenaan dengan warga negaranya. (Dede
dkk, 2007:251).
3.
Supremasi Hukum
Memberikan jaminan dan
perlindungan segala bentuk penindasan individu dan kelompok yang melanggar
norma-norma hukum dan segala bentuk penindasan hak asasi manusia. (Dede
dkk, 2007:251).
4.
Perguruan Tinggi
Yakni tempat dimana civitas akademikanya (dosen dan
mahasiswa) merupakan bagian dari kekuatan sosial dan masyarakat madani yang
bergerak pada jalur moral force untuk menyalurkan aspirasi masyarakat
dan mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerinta, dengan catatan gerakan yang
dilancarkan oleh mahasiswa masih pada jalur yang benar dan memposisikan diri
pada rel dan realitas yang betul-betul objektif, menyuarakan kepentingan
masyarakat (publik). Perguruan tinggi memiliki tugas utama mencari dan
menciptakan ide-ide alternatif dan konstruktif untuk dapat menjawab
problematika yang dihadapi oleh masyarakat. (Dede dkk, 2007:251).
5.
Partai Politik
Merupakan wahana bagi warga negara untuk dapat menyalurkan
aspirasi politiknya. Sekalipun memiliki tendensi politis dan rawan akan
hegemoni negara, tetapi bagaimanapun sebuah tempat ekspresi politik warga
negara, maka partai politik menjadi prasyarat bagi tegaknya masyarakat madani (Dede
dkk, 2007:251).
C.
Hubungan
Antara State (Negara)Dan Civil Society (Masyarakat Madani)
Teori
Pola Hubungan Negara dan Masyarakat Dilihat dari Perspektif Paham Kemajemukan
Menurut paham ini, fungsi negara adalah untuk
memenuhi kebutuhan rakyat, yang titik perhatiannya ditujukan kepada pluralitas
yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, dalam paham ini tidak ada kaum yang
dominan; semua sejajar. Pun, dalam penyelesaian suatu permasalahan antar kaum
acapkali dilakukan upaya-upaya kompromi, tawarmenawar, membentuk koalisi,
pertukaran terbatas dan pertukaran umum. Di sini, negara berfungsi sebagai
fasilisator. (Nasiwan, 2010: 171)
Masyarakat dengan asumsi mereka telah membayar pajak
yang digunakan untuk proses kegiatan pemerintahan maka berhak melakukan
pengawasan secara langsung terhadap jalannya pekerjaan pemerintahan untuk
melayani kepentingan dan kebutuhan publik. Dalam paham ini ditangkap bebrapa
poin penting antara lain mengenai kemajemukan di mana masing-masing varian
kepentingan dengan landasan SARA atau pun alasan lain yang melandasi sekelompok
manusia berhimpun atas dasar suatu persamaan, menciptakan suatu atmosfer yang
dipenuhi semangat partisipasi politik tiap kelompok, sehingga justru posisi
negara sebagai pembuat kebijakan terancam terdiskreditkan dengan desakan
berbagai kepentingan yang bila tidak dapat terakomodir dengan baik akan
menimbulkan berbagai manuver yang menyebabkan chaos. Akan tetapi, dengan kondisi di mana seluruh elemen
masyarakat mempercayakan pemrograman akomodasi segala kepentingan dan kebutuhan
dengan adi pada negara, sebenarnya dapat dikatakan peran negara sangat dominan.
(Nasiwan, 2010 : 171)
Dari paham ini, negara dicita-citakan sebagai sarana mencapai
kesejahteraan hidup, di mana kepemimpinan berada di tangan banyak elemen yang
bervariasi atau berada pada banyak perwakilan sehingga tidak terjadi
kesenjangan kelas sosial, dan diupayakannya secara serius terciptanya kelas
menengah untuk mereduksikan kecenderungan terjadinya konflik yang sangat besar.
(Nasiwan, 2010 : 172)
Dalam pengertian masyarakat madani, pola hubungan
masyarakat dengan negara, sangat menjunjung eksplorasi potensi dan aspirasi
masyarakat, sehingga akses rakyat kepada negara tidak terdiskreditkan seperti
pada teori Marx. Selain itu, para negarawan yang menduduki jabatan politis dan
menjadi pemerintah secara apresiatif terbuka dalam menerima segala bentuk
aspirasi dan mampu mengolah berbagai kepentingan yang ditonjolkan lalu mereka
akan dengan segera memutuskan dan mengambil beberapa langkah konkret untuk
merealisasikan kepentingan-kepentingan tersebut yang terformulasi dalam
program-program pemerintahan, sehingga tercipta dan terakomodirnya kebutuhan
masyarakat secara adil dan bijaksana. (Nasiwan, 2010: 172)
Di sini terdapat juga sesuatu dengan istilah elit
kekuasaan dan merupakan kritik yang dikemukakan oleh Mills kepada kaum
pluralis, menurut Hunter elit kekuasaan yang dipahaminya, yaitu negara
digerakkan oleh kalangan tertentu, kekuasaan ini berasal dari hal yang sifatnya
didasarkan kepada rasa hormat dan pengaruh informal pada sekelompok kecil yang
memiliki keunngulan dan kualitas SDM dan menjadi bagian terbaik dari
masyarakat, merekalah kaum elit yang mampu meraih sumber-sumber kekuasaan.
Kalum elit ini dengan kualitas superior mereka, justru semakin memperlebar
kelas sosial yang telah ada, dan memarginalisasi kelompok lain, terutama mereka
yang tidak mampu berkontribusi di kancah perpolitikan dalam skala besar. Mereka
adalah kaum minoritas yang secara tidak sengaja
tersisih dan terdiskreditkan keberadaannya, hanya karena tidak memiliki
kecakapan dalam memimpin ataupun menjalankan kontrol politik. (Nasiwan, 2010 :
172-173)
Menurut Michels dalam konsep fikiran masyarakat,
mayoritas manusia berwatak apatis, malas dan berjiwa budak, serta senantiasa
tak mampu memaksa dirinya sendiri, dengan kondisi demikian akan memudahkan kaum
elit mengambil berbagai keuntungan politis, demi menjaga keberlanjutan
kekuasaannya, dengan mudah mereka menggunakan metode pembodohan yang efektif
semacam pidato persuasif, yang bermain di wilayah sentimentil. Terdapat dua
tipe kaum elit, yaitu mereka yang memimpin dengan kelicikan dan mereka yang
memimpin dengan cara yang memaksa, kesemuanya tidak ada yang bersifat positif.
Jika suatu masa elit yang sedang berkuasa kehilangan kemampuan menjalankan
fungsi pelayanan terhadap masyarakat posisinya akan diambil alih oleh kekuatan
sosial lain yang juga elit, sehingga dalam dinamika kehidupan bernegara kaum
pluralis memandang bahwa perubahan adalah hal yang tidak dapat dielakkan. (Nasiwan,
2010 : 173)
Apakah yang merekatkan hubungan antara berbagai
kelompok sosial yang tumbuh dan berkembang itu serta bagaimana hubungan mereka
dengan negara? Menurut Eisenstadt, yang mengikat mereka satu sama lain adalah
kehadiran lembaga-lembaga tertentu dan kehadiran ideologi. Lembaga tersebut
yang paling utama adalah lembaga perwakilan, apakah itu yang namanya partai
politik ataupun parlemen, lembaga peradilan, serta lembaga penyalur aspirasi
yang lain seperti media massa, di mana informasi politik yang relevan dan
penting dapat disebarluaskan kepada khalayak. Yang paling penting diperhatikan
adalah, lembaga-lembaga tersebut harus terlepas dari dominasi negara, atau
sekelompok orang tertentu, atau kelas tertentu, dan pada gilirannya
lembaga-lembaga ini mampu meningkatkan derajat akontabilitas pejabat negara
atau penguasa. (Afan Gaffar, 2006: 184)
Masalah yang berkaitan dengan ras, etnisitas, agama,
ideologi, dan lain-lain, atau apa yang kita namakan sebagai identitas
kebersamaan, merupakan faktor yang harus selalu dipertimbangkan dalam mengamati
derajat keberadaan civil society dalam sebuah negara. (Afan Gaffar, 2006: 185)
BAB III
KESIMPULAN
Negara merupakan integrasi dari
kekuasaan politik, negara adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik.
Negara adalah alat (agency) dari
masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia
dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat.
(Mirriam, 2007 : 47)
Civil
society secara terminologis dapat diartikan masyarakat
sipil, masyarakat kewarganegaraan, masyarakat beradab, atau masyarakat
berbudaya. Jadi civil society dapat dipahami sebagai sebuah ruang (space)
sebuah Negara, di mana di dalamnya hidup sekelompok individu dengan semangat
toleransi yang tinggi dalam jalinan komunikasi dan interaksi yang sehat, serta
terwujudnya partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan public.
Ada juga yang memahami civil society sebagai asosiasi masyarakat yang beradab
sukarela hidup dalam suatu tatanan sosial yang membedakan dengan jelas di mana
letak urusan individu dengan urusan kolektif, dan terjadi mobilitas yang tinggi
dalam masyarakat, dan terbangun atas dasar jiwa sukarela jaringan kerjasama
antar seluruh elemen masyarakat. (Nasiwan, 2010: 158).
Yang merekatkan hubungan antara berbagai
kelompok sosial yang tumbuh dan berkembang serta bagaimana hubungan mereka dengan
negara menurut Eisenstadt, yang mengikat mereka satu sama lain adalah kehadiran
lembaga-lembaga tertentu dan kehadiran ideologi.
DAFTAR PUSTAKA
Nasiwan.
2010. Teori-Teori Politik Indonesia.
Yogyakarta: UNY Press.
Afan Gaffar. 1999. “Politik
Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Offset.
Mirriam
Budiarjo. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Politik.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Dede
rosyada dkk. 2007. Pendidikan
Kewarganegaraan: Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Dan Masyarakat Madani. Jakarta:
Prenada Media.
makalah ini sangat bagus. terimaasih
BalasHapus