Kamis, 22 November 2012

HUKUM ACARA PERDATA PUTUSAN GUGUR, PUTUSAN VERSTEK, DAN PUTUSAN PERDAMAIAN


HUKUM ACARA PERDATA
PUTUSAN GUGUR, PUTUSAN VERSTEK, DAN
PUTUSAN PERDAMAIAN
Description: UNY (6).jpgGuna memenuhi tugas dari Ibu Sri Hartini, M. Hum.







Disusun oleh :

Fransiscus Teddy               10401244006
Rahma Putri Damayanti     10401244008
Dwi Putri Noviani              10401244011
Rahmawati                         10401244013
Rofiyani                             10401244017
Ufita Arsono                      10401244018
Hikma Dewi Nastiti           10401244021
Esti Norma Oktavia           10401244027
Arif Sobirin Widodo          10401244034
Siti Nurrohmawati              10401244038
Imam Sumantri                   10401244041
Yatno
Candra



PKnH B
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN HUKUM
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2012
PUTUSAN GUGUR
A.    Landasan hukum dari putusan gugur:
Pengguguran gugatan diatur dalam Pasal 124 Het Herziene Indonesisch Reglement (“HIR”) yang berbunyi: “Jika penggugat tidak datang menghadap PN pada hari yang ditentukan itu, meskipun ia dipanggil dengan patut, atau tidak pula menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, maka surat gugatannya dianggap gugur dan penggugat dihukum biaya perkara; akan tetapi penggugat berhak memasukkan gugatannya sekali lagi, sesudah membayar lebih dahulu biaya perkara yang tersebut tadi.”
B.     Pengertian
Putusan gugur adalah putusan yang menyatakan bahwa gugatan/permohonan gugur karena penggugat/pemohon tidak pernah hadir, meskipun telah dipanggil sedangkan tergugat hadir dan mohon putusan.
C.    Waktu dijatuhkannya putusan gugur:
putusan gugur dijatuhkan pada sidang pertama atau sesudahnya sebelum tahapan pembacaan gugatan/permohonan
D.    Syarat terjadinya putusan gugur :
putusan gugur dapat dijatuhkan apabila telah dipenuhi syarat :
Memerhatikan ketentuan di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengguguran gugatan:
1.              Syarat pengguguran
Supaya pengguguran gugatan sah menurut hukum harus dipatuhi syarat sebagai berikut.
a.              Penggugat Telah Dipanggil Secara Patut
Penggugat telah dipanggil secara patut apabila:
·      Surat panggilan atau exploot telah dilakukan secara resmi oleh juru sita sesuai dengan ketentuan undang-undang untuk, untuk hadir atau menghadap pada hari tanggal sidang yang ditentukan;
·      Panggilan dilakukan dengan patut, yaitu antara hari panggilan dengan hari persidangan tidak kurang dari tiga hari.
b.              Penggugat Tidak Hadir Tanpa Alasan Yang Sah (Unreasonable Default)
Syarat yang kedua, penggugat tidak hadir atau tidak menghadap persidangan yang ditentukan tanpa alasan yang sah, dan juga tidak menyuruh kuasa atau orang lain untuk mewakilinya. Jika ketidakhadiran berdasarkan alasan yang sah (unseasonable default), ketidakhadiran penggugat tidak dapat dijadikan alasan untuk menggugurkan gugatan. Pengguguran yang demikian tidak sah dan bertentangan dengan hukum.
2.              Pengguguran Dilakukan Hakim Secara Ex-Officio
Pasal 124 HIR memberi kewenangan secara ex-officio kepada hakim untuk menggugurkan gugatan, apabila terpenuhi syarat dan alasan untuk itu. Dengan demikian kewenangan itu, dapat dilakukan hakim, meskipun tidak ada permintaan dari pihak tergugat. Namun hal itu, tidak mengurangi hak tergugat untuk mengajukan permintaan penggugaran. Malahan beralasan tergugat mengajukannya, karena ketidakhadiran penggugat dianggap merupakan tindakan sewenang-wenang kepada tergugat. Sebab ketidakhadiran itu, berakibat proses pemeriksaan tidak dapat dilakukan karena berbenturan dengan asas pemeriksaan contradictoir.
3.              Rasio pengguguran gugatan
Maksud utama pelembagaan pengguguran gugatan dalam tata tertib beracara adalah sebagai berikut.
a.              Sebagai hukuman kepada penggugat
Pengguguran gugatan oleh hakim, merupakan hukuman kepada penggugat atas kelalaian atau keingkarannya mengahdiri atau menghadap di persidangan. Sangat layak menghukum penggugat dengan jalan menggugurkan gugatan, karena ketidakhadiran itu dianggap sebagai pernyataan pihak penggugat bahwa dia tidak berkepentingan lagi dalam perkara tersebut.
b.              Membebaskan tergugat dari kesewenangan
Tujuan lain yang terkandung dalam pengguguran gugatan, membebaskan tergugat dari tindakan kesewenangan penggugat. Dianggap sangat tragis membolehkan penggugat berlarut-larut secara berlanjut ingkar menghadiri sidang, yang mengakibatkan persidangan mengalami jalan buntu pada satu segi, dan pada segi lain tergugat dengan patuh terus menerus datang menghadirinya, tetapi persidangan gagal disebabkan penggugat tidak hadirtanpa alasan yang sah. Membiarkan hal seperti itu berlanjut, merupakan penyiksaan yang menimbulkan kerugian moril dan materiil bagi tergugat. Menghadapi keadaan yang demikian sangat adil dan wajar membebaskan tergugat dari belenggu perkara, dengan jalan menggugurkan gugatan yang dimaksud. Memerhatikan rasio yang dikemukakan diatas, hakim harus tegas menerapkan ketentuan Pasal 124 HIR, apabila keingkaran penggugat menghadiri sidang benar-benar tanpa alasan yang sah. Atau apabila alasan ketidakhadiran yang diajukan bohong, dibuat-buat atau artifisial (artificial).



4.              Pengguguran sidang pertama
Kapan hakim secara ex-officio berwenang menggugurkan gugatan? Pasal 124 HIR tidak menegaskan hal itu. Pasal tersebut hanya mengatakan, kebolehan menggugurkan gugatan, apabila penggugat tidak datang mengahadap pada sidang yang ditentukan.
a.              Pengguguran pada sidang pertama
Secara tersirat, makna kalimat jika penggugat tidak hadir menghadap persidangan yang ditentukan adalah hari sidang pertama. Penafsiran ini disimpulkan berdasarkan kaitan kalimat itu dengan panggilan. Berdasarkan tata tertib beracara, relevansi atau urgensi panggilan adalah pada sidang pertama, karena proses sidang selanjutnya tidak memerlukan panggilan, tetapi cukup melalui pengumuman pengunduran di sidang panggilan. Pendapat ini, sesuai dengan pedoman yang digariskan MA, yang mengatakan: jika penggugat pada hari sidang pertama tidak datang..., tetapi pada hari kedua itu datang pada hari ketiga penggugat tidak hadir lagi, perkaranya tidak bisa digugurkan (Pasal 124 HIR/Pasal 148 RBG).
b.              Makna sidang pertama
Yang dimaksud dengan sidang pertama dalam masalah ini, meliputi hari sidang yang lain setelah pengguguran. Misalkan hari sidang pertama ditentukan 1 Maret 2002, untuk itu penggugat telah dipanggil dengan patut. Ternyata tidak hadir memenuhi panggilan tanpa alasan yang sah. Atau, ketidakhadirannya berdasarkan alasan yang sah. Berdasarkan ketidakhadiran itu, hakim mengundurkan hari sidang pada tanggal 15 Maret 2002, dan memerintahkan juru sita menyampaikan panggilan. Namun, pada hari sidang itu (15 Maret 2002) penggugat tidak hadir tanpa alasan yang sah. Dalam kasus yang demikian:
·      Sidang pengunduran (15 Maret 2002) tersebut, dianggap dan dikonstruksi sebagai sidang pertama;
·      Oleh karena itu, pada sidang pengunduran itu tetap melekat hak dan kewenangan hakim secara ex-officio untuk menggugurkan gugatan penggugat.
Berdasarkan penjelasan di atas, pengertian sidang pertama dalam kaitannya denganj pengguguran gugatan, tidak boleh ditafsirkan dan dikontruksi secara sempit (strict law), tetapi harus diterapkan secara luas meliputi sidang pengunduran selanjutnya dengan syarat, asal pada sidang sebelumnya penggugat tidak pernah hadir.
5.              Pengunduran tidak imperatif, tetapi fakultatif
Kewenangan pengguguran gugatan yang diatur dalam Pasal 124 HIR, sepintas lalu bersifat imperatif. Seolah-olah pasal ini berisi perintah kepada hakim, harus atau wajib menggugurkan gugatan apabila penggugatan tidak datang menghadiri sidang pertama tanpa alasan yang sah. Sepintas lalu memang demikian, jika an sich berpedoman secara utuh kepada ketentuan pasal 124 HIR. Menurut pasal ini, asal penggugat tidak hadir tanpa alasan yang sah, gugatan harus digugurkan.
Ternyata sifat imperatif yang ada pada Pasal 124 HIR itu, dianulir oleh Pasal 126 HIR yang menegaskan:
·      Sebelum menjatuhkan putusan pengguguran gugatan yang disebut dalam pasal 124, PN dapat memerintahkan supaya pihak yang tidak hadir dipanggil untuk kedua kalinya supaya datang menghadap pada hari sidang yang lain,
·      Sedangkan kepada pihak yang hadir (dalam hal ini tergugat), pengunduran sidang cukup diberitahukan oleh hakim dalam persidangan, dan pemberitahuan itu oleh hukum dianggap berlaku sebagai panggilan.
Jadi bertitik tolak dari ketentuan Pasal 126 HIR, pengguguran gugatan bukan bersifat imperatif, tetapi fakultatif. Dengan demikian penerapannya, memberi kewenangan kepada hakim:
·      Dapat mengugurkan gugatan secara langsung pada sidang pertama, atau
·      Dapat mengundurkan sidang dengan jalan memerintahkan juru sita, untuk memanggil penggugat untuk kedua kalinya.
Akan tetapi terlepas dari sifat fakultatif yang digariskan di atas, ditinjau dari segi pendekatan rasio yang terkandung dalam pelembagaa pengguguran, dianggap lebih tepat menerapkannya ke arah yang bersifat imperatif, demi untuk melindungi kepentingan tergugat pada satu segi, dan untuk edukasi bagi penggugat dan masyarakat pada sisi lain.
6.              Putusan Pengguguran Tidak Ne Bis In Idem
Perhatikan kembali Pasal 124 HIR. Di dalamnya terdapat kalimat yang berbunyi: “akan tetapi penggugat berhak memasukkan gugatnnya sekali lagi, sesudah membayar lebih dahulu biaya perkara tersebut.
a.              Putusan Pengguguran Berdasarkan Alasan Formil
Putusan pengguguran gugatan, diambil dan dijatuhkan:
·      Sebelum diperiksa materi pokok perkara,
·      Oleh karena itu, putusan diambil berdasarkan alasan formil yaitu atas alasan penggugat tidak hadir tanpa alasan yang sah (unreasonable default),
·      Dengan demikian putusan pengguguran bukan putusan mengenai pokok perkara, sehingga dalam putusan tidak melekat ne bis in idem yang digariskan Pasal 1917 KUH Perdata. Berarti sekiranya pun putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap (res judicata), pada putusan tidak melekat unsur ne bis in idem.
b.              Putusan Pengguguran Dijatuhkan Secara Sederhana
Mengenai menjatuhkan putusan pengguguran gugatan, dapat berpedoman kepada ketentuan Pasal 176 Rv:
·                Dilakukan tanpa hadirnya penggugat, dalam sidang secara sederhana,
·                Namun tetap dituangkan dalam bentuk putusan sebagaimana mestinya.
·                Putusan Pengguguran Diberitahukan Kepada Penggugat
Menurut pasal 276 Rv, untuk tegasnya kepastian hukum:
·                Putusan pengguguran gugatan diberitahukan kepada penggugat,
·                Pemberitahuan dilakukan oleh juru sita, sesuai dengan ketentuan Pasal 390 HIR.
Dengan adanya pemberitahuan, menjadi dasar bagi penggugat untuk melakukan upaya hukum yang proposional untuk itu.
c.              Penggugat Berhak Mengajukan Kembali
Seperti yang telah dijelaskan di atas, dalam putusan pengguguran tidak melekat unsur ne bis in idem sehingga putusan tersebut tidak termasuk putusan yang disebut Pasal 1917 KUH Perdata. Oleh karena itu, sangat tepat ketentuan Pasal 124 HIR yang memberi hak kepada Penggugat untuk mengajukan kembali gugatan itu kepada PN untuk diproses sebagaimana mestinya. Terdapat pengajuan kembali, tergugat tidak dapat mengajukan keberatan atau perlawanan.

d.             Pengajuan Kembali Dengan Membayar Biaya Perkara
Pengajuan kembali, dianggap sebagai perkara baru. Oleh karena itu, terhadap pengajuan berlaku ketentuan Pasal 121 ayat (4) HIR:
·                Harus lebih dahulu dibayar biaya perkara, sejumlah panjar perkara yang ditentukan oleh panitera;
·                Atas bukti pembayaran itu, baru dilakukan pendaftaran dalam registrasi.

7.              Pengguguran Gugatan Dibarengi Perintah Pengangkatan Sita Jaminan (CB)
Putusan pengguguran gugatan yang dijatuhkan pengadilan menimbulkan akibat hukum terhadap semua tindakan hukum yang telah diambil pengadilan. Sekiranya dalam perkara yang bersangkutan telah diletakkan sita jaminan terhadap milik tergugat atau objek barang sengketa:

·                sita tersebut harus diangkat;
·                pengangkatan sita itu, dicantumkan dalam amar putusan yang berisi perintah mengangkat sita;
·                namun, apabila penggugat mengajukan kembali perkara itu, dia berhak meminta lagi agar sita diletakan. Namun permintaan itu tidak dengan sendirinya dikabulkan, tetapi harus berdasar pertimbangan baru lagi.
E.      Akibat Hukum Putusan Gugur
Akibat hukum putusan Gugur diatur dalam Pasal 77 Rv, sebagai berikut:
1.    Pihak Tergugat, dibebaskan dari perkara dimaksud. Putusan Pengguguran gugatan yang didasarkan atas keingkaran Penggugat menghadiri sidang pertama, merupakan putusan akhir (eind vonnis) yang bersifat menyudahi proses pemeriksaan secara formil. Artinya, putusan itu mengakhiri pemeriksaan meskipun pokok perkara belum diperiksa. Itu sebabnya undang-undang menyatakan dibebaskan dari perkara itu.
2.    Terhadap putusan pengguguran gugatan tidak dapat diajukan perlawanan atau verzet. Sifat putusannya:
·      Langsung mengakhiri perkara, karena itu langsung pula mengikat kepada para pihak atau final and binding,
·      Selain terhadapnya tidak dapat diajukan perlawanan, juga tertutup upaya hukum, sehingga tidak dapat diajukan banding atau kasasi.
3.    Penggugat dapat mengajukan gugatan baru. Satu-satunya jalan yang dapat ditempuh Penggugat adalah mengajukan gugatan baru dengan materi pokok perkara yang sama, karena dalam putusan gugur tidak melekat ne bis in idem sehingga dapat diajukan sebagai perkara baru, dan untuk itu Penggugat dibebani membayar biaya perkara baru.    
Dalam Pasal 273 ; 277 Rv mengenal aturan yang mengatur tentang pengguguran perkara bukan pencoretan pendaftaran, tetapi tidak dijelaskan dengan tegas sebab-sebab digugurkannya perkara dan dapat dipastikan di sini termasuk karena kelalaian pihak apa karena kekurangan biaya perkara ataupun sebab-sebab lainnya. Namun sebelum digugurkan tersebut ada beberapa tahap yang harus dilalui sebagai berikut:
1)   Perkara sudah terhenti selama tiga tahun, dan masih ada kesempatan dalam waktu enam bulan untuk  melanjutkan perkara;
2)   Adanya permohonan untuk digugurkan dari pihak yang berkepentingan, dan permohonan untuk menggugurkan itu dapat dicegah dengan tindakan hukum oleh salah satu pihak sebelum pernyataan gugur;
3)   Pernyataan gugur itu dilakukan dalam sidang secara sederhana dan diberitahukan kepada pihak yang bersangkutan atau ditempat tinggalnya;
4)   Pernyataan gugur itu tidak membatalkan tuntutan, melainkan hanya acara perkara yang telah dimulai;
5)   Biaya perkara karena pernyataan gugur itu dianggap sudah dibayar;
Dan bila mengajukan gugatan baru, maka pihak-pihak satu sama lain berhak untuk mengajukan lagi sumpah-sumpah, pengakuan-pengakuan dan keterangan-keterangan yang telah diberikan olehnya dalam perkara yang terdahulu, begitu juga keterangan-keterangan yang telah diberikan oleh saksi-saksi yang sudah meninggal dunia, jika hal itu dicantumkan dalam berita acara yang dibuat dengan baik. Ketentuan-ketentuan dalam Rv tersebut jelas acaranya, Hakim jelas apa yang diperbuat sebagai tugas tehnis yudisial karena ada cantolannya, hal ini jelas tidak sama dengan pembatalan/pencoretan pendaftaran perkara.
PUTUSAN VERSTEK
A.            Istilah dan Pengertian
Dalam penulisan ada yang memeprgunakan istilah “hukum acara tanpa hadir”. Sedangkan Soepomo menyebut “acara luar hadir”. Mengenai pengertian verstek, tidak terlepas kaitannya dengan fungsi beracara dan penjatuhan putusan putusan atas perkara yang disengketakan, yang memberi wewenang kepada hakim menjatuhkan putusan tanpa hadirnya penggugat atau tergugat. Sehubungan dengan itu, persoalan verstek tidak lepas kaitannya dengan ketentuan pasal 124 HIR (pasal 77 Rv) dan pasal 125 ayat (1) HIR (pasal 73 Rv). Pasal 124 HIR, pasal 77 Rv, mengatur verstek kepada penggugat

Berdasarkan pasal diatas, hakim berwenang menjatuhkan putusan di luar hadir atau tanpa hadir penggugat dengan syarat:
1)             Bila penggugat tidak hadir pada sidang yang ditentukan tanpa alasan yang sah,
2)             maka dalam peristiwa seperti itu, hakim berwenang memutus perkara tanpa hadirnya penggugat yang disebut verstek, yang memuat diktum:
3)             Membebaskan tergugat dari perkara tersebut,
4)             Menghukum penggugat membayar biaya perkara,
5)             Terhadap putusan verstek itu penggugat tidak dapat mengajukan perlawanan (verzet) maupun upaya banding dan kasasi, sehingga terhadap putusan tertutup upaya hukum,
6)             Upaya yang dapat dilakukan penggugat adalah mengajukan kembali gugatan itu sebagai perkara baru dengan membayar biaya perkara,
7)             Pasal 125 ayat (1) HIR, pasal 73 Rv, mengatur verstek terhadap tergugat
Berdasarkan pasal tersebut, kepada hakim diberi wewenang menjatuhkan putusan di luar hadir atau tanpa hadirnya tergugat, dengan syarat:
·                Apabila tergugat tidak datang menghadiri sidang pemeriksaan yang ditentukan tanpa alasan yang sah (default wihthout reason),
·                Dalam hal seperti itu, hakim menjatuhkan putusan verstek yang berisikan diktum:
-            Mengabulkan gugatan seluruhnya atau sebagian, atau
-            enyatakan gugatan tidak dapat diterima apabila gugatan tidak mempunyai dasar hukum
Memperhatikan penjelasan diatas, pengertian verstek ialah pemberian wewenang kepada hakim untuk memeriksa dan memutus perkara meskipun penggugat atau tergugat tidak hadir di persidangan pada tanggal yang ditentukan. Dengan demikian putusan diambil dan dijatuhkan tanpa bantahan atau sanggahan dari pihak yang tidak hadir.
B.            Tujuan Verstek
Maksud utama sistem verstek dalam hukum acara adalah untuk mendorong para pihak menaati tata tertib beracara, sehingga proses pemeriksaan penyelesaian perkara terhindar dari anarki atau kesewenangan.  Sekiranya undang-undang menentukan bahwa untuk sahnya proses pemeriksaan perkara, mesti dihadiri para pihak, ketentuan yang demikian tentunya dapat dimanfaatkan tergugat dengan itikad buruk untuk menggagalkan penyelesaian perkara. Setiap kali dipanggil menghadiri sidang, tergugat tidak menaatinya dengan maksud untuk menghambat pemeriksaan dan penyelesaian perkara.
C.            Syarat Acara Verstek
Perihal syarat sahnya penerapan verstek kepada tergugat, merujuk kepada ketentuan pasal 125 ayat (1) HIR atau pasal 78 Rv. Bertitik tolak dari pasal tersebut, dapar dikemukakan syarat-syarat sebagai berikut:
1.              Tergugat Telah Dipanggil dengan Sah dan Patut
a.              Yang melaksanakan pemanggilan juru sita
Hal itu ditegaskan dalam pasal 388 jo. Passal 390 ayat (1) HIR. Menurut pasal itu, yang diwajibkan menjalankan panggilan adalah juru sita PN. Jika pihak yang hendak dipanggil berada di luar yurusdiksi relatif yang dimilikinya, panggilan dilakukan berdasarkan pasal 4 Rv, yaitu mendelegasikan kepada juru sita yang berwenang di daerah hukum itu.
b.              Bentuknya dengan surat panggilan
Berdasarkan pasal 390 ayat (1), pasal 2 ayat (3) Rv panggilan dilakukan dalam bentuk:
·                Surat tertulis yang disebut surat panggilan atau relaas panggilan (bericht report)
·                Panggilan tidak sah dalam bentuk lisan (oral) karena secara teknis yustisial, sangat
sulit atau tidak dapat dibuktikan kebenarannya sehingga dapat merugikan kepentingan tergugat
c.              Cara pemanggilan yang sah
Kategori cara pemamggilan yang sah, digariskan dalam pasal 390 ayat (1) dan (3) HIR atau pasal 6 ke7- Rv
Tempat tinggal tergugat diketahui:
-       Disampaikan kepada yang bersangkutan sendiri atau keluarganya
-       Penyampaian dilakukan di tempat tinggal atau tempat tempat dominili pilihan
-       Disampaikan kepada kepala desa, apabila yang bersangkutan dan keluarga tidak ditemukan juru sita di tempat kediaman.
Tempat tinggal tidak diketahui:
-       Juru sita menyampaikan panggilan kepada walikota atau bupati, dan
-       Walikota atau bupati mengumumkan atau memaklumkan surat juru sita itu dengan jalan menempelkan pada pintu umum kamar sidang PN.
-       Pemanggilan tergugat yang berada di luar negeri
Cara pemanggilan dalam kasus seperti ini, tidak diatur dalam HIR dan RBG. Oleh karena itu, dalam praktik dipedomani keputusan dalam bentuk melalui jalur diplomatik. Jika tempat tinggal tergugat di luar negeri tidak diketahui, tata cara panggilan tunduk kepada ketentuan pasal 390 ayat (3) HIR.
·                Pemanggilan terhadap tergugat yang meninggal
Tata caranya berpedoman pada pasal 390 ayat (2) HIR dan pasl 7 Rv.
-       Apabila ahli waris dikenal, panggilan ditujukan kepada semua ahli waris tanpa menyebut identitas mereka satu persatu dan panggilan disampaikan di tempat tinggal almarhum pewaris
-       Apabila ahli waris tidak dikenal, panggilan disampaikan melalui kepala desa di tempat tinggal terakhir almarhum pewaris.
d.             Jarak Waktu Pemanggilan dengan Hari Sidang
Supaya panggilan sah dan patut, harus berpedoman kepada pasal 122 HIR atau pasal 10 Rv. Pasal tersebut mengatur jarak waktu anatar pamanggilan dengan hari sidang.
·      Dalam keadaan normal, digantungkan pada faktor jarak tempat kediaman tergugat dengan gedung PN:
-       8 (delapan) hari, apabila jaraknya tidak jauh
-       14 (empat belas) hari, apabila jaraknya agak jauh, dan
-       20 (dua puluh) hari, apabila jaraknya jauh
·                Dalam keadaan mendesak
Menurut pasal 122 HIR, dalam keadaan mendesak jarak waktunya dapat dipersingkat, tetapi tidak boleh kurang dari 3 hari.
2.              Tidak Hadir Tanpa Alasan yang Sah
Syarat yang kedua, tergugat tidak datang menghadiri penggilan sidang tanpa alasan yang sah. syarat ini ditegaskan dalam pasal 125 ayat (1) HIR:
·      Tergugat tidak datang pada hari perkara itu diperiksa, atau
·      Tidak menyuruh orang lain sebagai kuasa yang bertindak mewakilinya,
·      Padahal tergugat telah dipanggil dengan patut, tetapi tidak menghiraukan dan menaati panggilan tanpa alasan yang sah
·      Dalam kasus seperti itu, hakim dapat dan berwenang menjatuhkan putusan verstek, yaitu putusan di luar hadir tergugat.
Jadi, apabila tergugat in person atau wakilnya tidak hadir memenuhi panggilan pemeriksaan di sidang pengadilan yang ditentukan, padahal telah dipanggil dengan patut, kepada tergugat dapat dikenakan hukuman berupa penjatuhan putusan verstek.


3.              Tergugat Tidak Mengajukan Eksepsi Kompetensi
Berdasarkan pasal 125 ayat (2) jo. Pasal 121 HIR, hukum acara memberi hak kepada tergugat mengajukan eksepsi kompetensi, baik absolut berdasarkan pasal 134 HIR atau relatif berdasarkan pasal 133 HIR. Apabila tergugat tidak mengajukan eksepsi seperti tiu, kemudian tergugat tidak memenuhi panggilan sidang berdasarkan alasan yang sah, hakim dapat langsung menyelesaikan perkara berdasarkan verstek.
D.            Penerapan Acara Verstek Tidak Imperatif
Pada satu sisi, undang-undang  mendudukan kehadiran tergugat di sidang sebagai hak, bukan kewajiban yang bersifat imperatif. Hukum menyerahkan sepenuhnya apakah tergugat mempergunakan hak itu untuk membela kepentingannya. Disisi lain, undang-undang tidak memaksakan penerapan acara verstek secara imperatif. Hakim tidak mesti menjatuhkan putusan verstek terhadap tergugat yang tidak hadir memenuhi panggilan. Penerapannya bersifat fakultatif. Kepada hakim diberi kebebasan untuk menerapkannya atau tidak.
E.            Penerapan Acara Verstek ( Putusan di Luar Hadir)
Ada kemungkinannya pada hari sidang yang telah ditetapkan tergugat tidak datang dan tidak pula mengirimkan wakilnya menghadap di persidangan, sekalipun sudah dipanggil denagn patut oleh jurusita. Tidak ada keharusan bagi tergugat untuk datang di persidangan. HIR memang tidak mewajibkan tergugat untuk datang di persidangan. Kalau tergugat tidak datang setelah panggilan dengan patut, maka gugatan dikabulkan dengan putusan diluar hadir atau verstek, kecuali kalu gugatan itu melawan hak atau tidak beralasan.
Tentang kapan boleh dijatukan putusan verstek ada yang berpendapat bahwa putusan verstek harus dijatuhkan pada hari sidang pertama, yang mendasarkan pada kata-kata “ten dage dienende” dalam pasal 123 HIR (pasal 149 Rbg) yang diartikan sebagai hari sidang pertama. Sebaliknya ada yang berpendapat bahwa kata-kata “ten dage dienende” dapat pula diartikan ”ten dage dat de zaak dient” yang berarti tidak hanya hari sidang pertama saja. Pasal 126 HIR (pasal 150 Rbg) memberi kelonggaran untuk dipanggil sekali lagi. Kata verstek itu sendiri berarti pernyataan bahwa tergugat tidak datang pada hari sidang pertama. Ada kalanya putusan verstek itu dijalankan (pasal 129 ayat 2 HIR. 153 ayat 2 Rbg).
Tuntutan perlawanan (verzet) terhadap putusan verstek diajukakn dan diperiksa seperti perkara consevatoir. Dalam acara perlawanan yang mengajukan perlawanan (pelawan, apposant) tetap menduduki kedudukannya sebagai tergugat seperti dalam perkara yang telah diputus verstek, sedang terlawan ( geoppossende) tetap sebagi penggugat. Apabila perlawanan diterima oleh pegadilan, maka pelaksanaan putusan verstek terhenti, kecuali kalau ada perintah untuk melanjutkan pelaksanaan putusan verstek itu ( pasal 129 ayat 4 HIR, 153 ayat 5 Rbg).
Dalam pemeriksaan perlawanan (verzetprocedure) oleh karena kedudukan para pihak tidak berubah, maka pihak penggugatlah (terlawan) yang harus mulai dengan pembuktian. Kalau dalam acara perlawanan penggugat tidak datng, maka perkara diperiksa secara consevatoir. Sedangkan kalau tergugat dalam acara perlawanan itu tidak datng lagi, maka untuk kedua kalinya diputus verstek, terhadap mana tubtutab perlawanan (verzet) tidak diterima (pasal 129 ayat 5 HIR, 153 ayat 6 Rbg). Jika terdapat bebrapa orang tergugat, sedang salah seorang atau lebih di antaranya tidak datang atau tidak menyuruh wakilnya menghadap meskipun telah dipanggil dengan patut, perkara diperiksa secara consevatoir. Apabila kedua belah pihat tidak datang pada hari sidang yang telah ditentukan, meskipun kedua-duanya telah dipanggil dengan patut, maka denagn kewibawaan badan pengadilan serta agar jangan sampai ada perkara yang berlarut-larut tidak berketentuan dalam hal ini gugatan perlu dicoret dari daftar dan dianggap tidak pernah ada, walaupun tentang hal ini tidak ada ketentuannya.
Khusus dalam perkara perceraian, maka hakim wajib membuktikan dulu kebenaran dalil-dalil tergugat dengan alat bukti yang cukup sebelum menjatuhkan putusan verstek. Apabila tergugat mengajukan verzet, maka putusan verstek menjadi mentah dan pemeriksaan dilanjutkan pada tahap selanjutnya perlawanan (verzet berkedudukan sebagai jawaban tergugat). Apabila perlawanan ini diterima dan dibenarkan oleh hakim berdasarkan hasil pemeriksaan/pembuktian dalam sidang, maka hakim akan membatalkan putusan verstek dan menolak gugatan penggugat. Tetapi bila perlawanan itu tidak diterima oleh hakim, maka dalam putusan akhir akan menguatkan verstek, terhadap putusan akhir ini dapat dimintakan banding. Putusan verstek yang tidak diajukan verzet dan tidak pula dimintakan banding, dengan sendirinya menjadi putusan akhir yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
F.             Bentuk Putusan Verstek
Mengenai bentuk putusan verstek yang dapat dijatuhkan, diatur dalam pasal 125 ayat (1) HIR, pasal 149 RBG, dan pasal 78 Rv. Pasal 125 ayat (1) berbunyi:
Jika tergugat tidak datang pada hari perkara itu diperiksa, atau tidak pula menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, meskipun ia dipanggil dengan patut maka gugatan itu terima dengan tidak hadir (verstek), kecuali kalau nyata kepada PN bahwa pendakwa itu melawan hak atau tidak beralasan.
Memperhatikan kalimat terakhir pasal di atas, bentuk putusan verstek yang dijatuhkan pengadilan terdiri dari:
1.              Mengabulkan Gugatan Penggugat
Bentuk putusan verstek yang pertama, mengabulkan gugatan penggugat. Apabila hakim hendak menerapkan acara verstek, pada prinsipnya, putusan yang harus dijatuhkan mengabulkan gugatan penggugat. Bertitik tolak dari prinsip tersebut, tanggung jawab hakim dalam penerapan acara verstek adalah berat. Tanpa melalui proses pemeriksaan yang luas dan mendalam terhadap fakta-fakta yang melekat pada sengketa, hakim mengabulkan gugatan, semata-mata berdasarkan surat gugatan yang diajukan penggugat. Berarti putusan diambil tanpa perlawan dan bantahan dari pihak tergugat.
Sejauhmana jangkauan pengabulan yang dapat dituangkan dalam putusan verstek, terdapat perbedaan pendapat.
a)              Mengabulkan seluruh gugatan.
b)             Boleh mengabulkan sebagian saja.
2.              Menyatakan Gugatan Tidak dapat di Terima
Kalimat terakhir pasal 125 ayat (1) HIR menegaskan: kecuali nyata kepada pengadilan negeri, gugatan melawan hukum atau tidak beralasan. Memperhatikan ketentuan diatas hakim harus menyatakan gugatan tidak dapat diterima apabila gugatan:
-                 Melawan hukum atau ketertiban dan kesusilaan
-                 Tidak beralasan atau tidak mempunyai dasar hukum
3.              Menolak Gugatan Penggugat
Malahan bukan hanya terbatas pada bentuk putusan yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima, tetapi dapat juga berbentuk menolak gugatan penggugat. Jika menurut pertimbangan hakim, gugatan yang diajukan tidak didukung alat bukti yang memenuhi batas minimal pembuktian, hakim dapat menjatuhkan putusan verstek yang memuat diktum: Menolak gugatan penggugat . sekiranya penggugat keberatan terhadap putusan itu, ia dapat mengajukan banding berdasarkan pasal 8 ayat (1) undang-undang no 20 tahun 1947.
G.           Upaya Hukum Terhadap Putusan Versyek
Pasal 129 HIR, pasal 153 RBG mengatur berbagai aspek mengenai upaya hukum terhadap putusan verstek:
·                Ayat (1) mengenai bentuk upaya hukumnya yaitu perlawanan atau verzet,
·                Ayat (2) mengenai tenggang waktu
·                Ayat (3) mengatur cara pengajuan hukum,
·                Ayat (4) mengatur permintaan penundaan eksekusi putusan verstek,
·                Ayat (5) ketentuan tentang pengajuan verzet terhadap verstek.
Demikian gambaran singkat tentang aspek-aspek yang berkenaan dengan upaya hukum terhadap putusan verstek. Pengaturan yang bersifat spesifik terhadap upaya hukum terhadap putusan verstek sejalan dengan kekhususan yang melekat pada putusan verstek itu sendiri.

H.            Perlawanan Atas Putusan Verstek

Dalam suatu perkara telah diputus secara verstek, dapat dilakukan upaya hukum berupa verzet, yang diajukan di pengadilan yang memutus verstek tersebut dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
Pertama, sesuai Pasal 129 HIR/153 RBg, Tergugat/Para Tergugat yang dihukum dengan verstek berhak mengajukan verzet atau perlawanan dalam waktu 14 hari terhitung setelah tanggal pemberitahuan putusan verstek itu kepada Tergugat semula jika pemberitahuan tersebut langsung disampaikan sendiri kepada yang bersangkutan. Pasal 391 HIR dalam menghitung tenggat waktu maka tanggal/hari saat dimulainya penghitungan waktu tidak dihitung.
Kedua, jika putusan itu tidak langsung diberitahukan kepada Tergugat sendiri dan pada waktu aanmaning Tergugat hadir, maka tenggat waktunya sampai pada hari kedelapan sesudah aanmaning (peringatan).
Ketiga, jika Tergugat tidak hadir pada waktu aanmaning maka tenggat waktunya adalah hari kedelapan sesudah sita eksekusi dilaksanakan. (Pasal 129 ayat 2 Jo. Pasal 196 HIR dan Pasal 153 ayat 2 Jo. Pasal 207 RBg). Kedua perkara tersebut (perkara verstek dan verzet terhadap verstek) didaftar dalam satu nomor perkara.
Keempat, perkara verzet sedapat mungkin dipegang oleh Majelis Hakim yang telah menjatuhkan putusan putusan verstek.
Kelima, hakim yang melakukan pemeriksaan perkara verzet atas putusan verstek harus memeriksa gugatan yang telah diputus verstek tersebut secara keseluruhan. Pemeriksaan perkara verzet dilakukan secara biasa (lihat Pasal 129 ayat 3 HIR, Pasal 153 ayat 3 RBg dan SEMA No 9 Tahun 1964).
Keenam, apabila dalam pemeriksaan verzet pihak Penggugat asal (Terlawan) tidak hadir, maka pemeriksaan dilanjutkan secara contracdictoire, akan tetapi apabila Pelawan yang tidak hadir, maka Hakim menjatuhkan putusan verstek untuk kedua kalinya. Terhadap putusan verstek yang dijatuhkan kedua kalinya ini tidak dapat diajukan perlawanan, tetapi bisa diajukan upaya hukum banding (pasal 129 ayat 5 HIR dan Pasal 153 ayat 5 RBg).
Ketujuh, apabila verzet diterima dan putusan verstek dibatalkan maka amar putusannya berbunyi:
·                 Menyatakan Pelawan adalah Pelawan yang benar
·                 Membatalkan putusan verstek
·                 Mengabulkan gugatan Penggugat atau menolak gugatan Penggugat
Kedelapan, apabila verzet tidak diterima dan putusan verstek tidak dibatalkan, maka amar putusannya berbunyi: "Menyatakan Pelawan adalah Pelawan yang tidak benar" atau "Menguatkan putusan verstek tersebut"
Kesembilan, terhadap putusan verzet tersebut kedua belah pihak berhak mengajukan banding. Dalam hal diajukan banding, maka berkas perkara verstek dan verzet disatukan dalam satu berkas dan dikirim ke Pengadilan Tinggi dan hanya menggunakan satu nomor perkara.
I.               Eksekusi Putusan Verstek
Ketentuan mengenai eksekusi putusan verstek diatur dalam pasal 128 HIR. Sudah barang tentu, ketentuan itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan prinsip umum pelaksanaan eksekusi yang digariskan pasal 195 HIR. Pada dasarnya pasal 128 HIR hanya terbatas secara khusus mengatur pada kapanputusan verstek melekat kekuatab eksekutorial. Sedangkan bagaimana cara melaksanakan eksekusi tunduk kepada ketentua yang digariskan pasal 195 HIR.
1.              Putusan verstek tidak dapat dieksekusi sebelum lewat tanggal 14 hari dari tanggal pemberi tanggal putusan
2.              Dapat dieksekusi sebelum lewat tenggang 14 hari atas alasan sangat perlu.
3.              Perlawanan (verzet) menyingkirkan eksekusi.
PUTUSAN PERDAMAIAN
Penyelesaian melalui perdamaian
          Penyelesaian melalui perdamaian diatur dalam pasal 6 PERMA yang berbunyi : hakim berkewajiban mendorong para pihak untuk menyelesaikan perkaradimaksud melalui perdamaian, baik pada awal persidangan maupun selama berlangsungnya pemeriksaan perkara.
Bertitik tolak dari ketentuan pasal dimaksud dapat menjelaskan hal-hal berikut.
1.      Hakim wajib mendamaikan
Pasal ini berisi perintah kepada hakim , wajib mendamaikan para pihak. Namun dalam praktik kewajiban itu, bersifat proforma saja. Kewajiban itu hanya tertulis saja, tapi isinya dalam praktik sangat berbeda. Kenyataan itu tercermin dari pengalaman selama ini atas penerapan pasal 30 HIR. Sangat jarang hakim yang berdedikasi menyelesaikan perkara melalui perdamaian, sehingga ketentuan pasal 130 HIR itu, tidak berfungsi sama sekali. Demikian juga nasib pasal 6 PERMA, hanya hiasan formal belaka tanpa daya.
            Penerapan kewajiban mendamaikan yang diatur pasal 6 itu:
Kewenangannya berupa tindakan:
-          Mendorong para pihak menyelesaikan perkara melalui perdamaian
-          Apakah mereka mau berdamai apa tidak, terserah sepenuhnya kepada para pihak
-          Hakim tidak dapat memaksa mereka untuk berdamai
Berlangsungnya kewajiban mendorong perdamaian dapat diupayakan hakim:
-          Mulai dari saat awal persidangan
-          Maupun selama proses pemeriksaan berlangsung
-          Batasnya, sampai putusan dijatuhkan
Secara harfiah, kewajiban mendorong perdamaian dapat dikatakan bersifat imperatif. Buktinya tindakan perdamaian harus tegas disebut dalam berita acara sidang maupun dalam putusan. Namun dalam pelaksanaan, selain tidak dilaksanakan secara seriusmelalui berbagai cara pendekatan, perdamaian itu sendiri tidak dapat dipaksakan diluar kehendak para pihak.
Akan tetapi, dengan ditertibkannya PERMA No.2 tahun 2003 ( 11 september 2003), dengan memaksakan secara imperatif semua penyelesaian perkara mesti lebih dahulu ditempuh melalui proses mediasi, dan baru boleh ditempuh proses litigasi apabila mediasi gagal. Ketentuan pasal 6 harus tunduk kepada sistem perdamaian yang diatur dalam PERMA No. 2 tahun 2003 tersebut.
2.      Perdamaian dituangkan dalam putusan perdamaian
Bertitik tolak dari ketentuan pasal 10 PERMA, tata cara pemeriksaan perdamaian yang diatur dalam pasal 6 tunduk kepada pasal 31 HIR, dengan acuan sebagai berikut:
-          Para pihak menyepakati sendiri materi perdamaian
-          Kesepakatan dibuat dan dirumuskan di luar persidangan tanpa campur tangan hakim
-          Persetujuan dituangkan dalam bentuk tertulis, dan ditandatangani para pihak
-          Selanjutnya para pihak meminta kepada hakim agar terhadap kesempatan itu:
·         Dijatuhkan putusan perdamaian
·         Atas permintaan itu hakim menjatuhkan putusan yang memuat diktum “menghukum para pihak memenuhi dan melaksanakan isi perdamaian”
Putusan perdamaian menurut pasal 130 HIR dianggap sama dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap:
-          Tertutup terhadapnya upaya banding dan kasasi
-          Langsung final dan mengikat kepada para pihak
-          Serta langsung melekat padanya kekuatan eksekutorial sehingga apabila tidak dilaksanakan secara sukarela, dapat dijalankan eksekusi melalui PN.
3.      Kelemahan pasal 6 PERMA
Apabila dibandingkan dengan sistem perdamaian CA yang diatur dibeberapa negara, pasal 6 PERMA mengandung kelemahan
a.       Tidak mengatur Unfair settlement
Ketentuan unfair settlement( perdamaian yang tidak jujur) sangat penting dan berperan menghindari tindakanwakil kelompok bersekongkol dengan tergugat. Di Amerika untuk menghindari terjadinya unfair settlement yang merugikan anggota kelompok, undang-undang memberikan kewenangan kepada hakim untuk:
-          Menilai dan mempertimbangkan apakah perdamaian yang disepakati itu unfair(tidak jujur), unreasonable( tidak patut)
-          Berdasarkan penilaian itu hakim berwenang menentukan menyetujui atau tidak menyetujui perdamaian.
Kekosongan hukum ini besar kemungkinan akan dimanfaatkan wakil kelompok untuk melakukan persengkolan dengan tergugat membuat perdamaian yang tidak fair dan tidak reasonable, dengan cara suap yang dapat merugikan anggota kelompok.
b.      Tidak memberi hak mengajukan keberatan
Selain kelemahan tersebut diatas, PERMA juga tidak memberi hak mengajukan keberatan (objection right) kepada anggota kelompok terhadap perdamaian yang merugikan kelompok mereka. Kekosongan hukum ini mempersulit anggota kelompok melakukan pengawasan terhadap perilaku dan tindakan wakil kelompok yang nyata-nyata merugikan kepentingan mereka.
Penyelesaian sengketa melalui perdamaian jauh lebih efektif dan efisien. Itu sebabnya pada masa belakangan ini, berkembang berbagai cara penyelesaian sengketa (settlement method) di luar pengadilan, yang dikenal dengan alternative dispute resolution( ADR), dalam berbagai bentuk, seperti:
-          Mediasi melalui sistem kompromi diantara para pihak, sedang pihak ketiga yang bertindak sebagai mediator hanya sebagai penolong (helper) dan fasilitator
-          Konsiliasi melalui konsiliator yakni pihak ketigayang bertindak sebagai konsiliatorberperan merumuskan perdamaian dan tetapi keputusan tetap di tangan para pihak.
-          Expert determination yakni menunjuk seorang ahli memberi penyelesaian yang menentukan . oleh karena itu keputusan yang diambilnya mengikat para pihak.
-          Mini trial yakni para pihak sepakat menunjuk seorang advisor yang akan bertindak sebagai memberi opini kepada kedua belah pihak, opini diberikan advisor setelah mendengar permasalahan sengketa dari kedua belah pihak, opini berisi kelemahan dan kelebihan masing-masing pihak, serta memberi pendapat bagaimana cara menyelesaiakanyang harus ditempuk para pihak.
Demikian sepintas lalu bentuk-bentuk cara penyelesaian sengketa yang berkembang di luar pengadilan maupun arbitrase.  Memang masih ada bentuk lain seperti summary jury trial. Namun apa yang dikemukakan diatas membuktikan perkembangan cara penyelesaian sengkea diluar pengadialan.
1.      Penyelesaian melalui perdamaian mengandung berbagai keuntungan
Penyelesaian perkara melalui perdamaian, apakah itu dalam bentuk mediasi, konsiliasi, expert determination atau mini trial mengandung berbagai keuntungan substansial dan psikologis, yang terpenting diantaranya:
a.       Penyelesaian bersifat informal
Peneyelesaian melalui pendekatan nurani bukan berdasarkan hukum. Kedua belah pihak melepaskan diri dari kekakuan istilah hukum (legal term) kepada pendekatan yang bercorak nurani dan moral. Menjauhkan pendekatan doktrin dan asas pembuktian ke arah persamaan persepsi yang saling menguntungkan.
b.      Yang menyelesaikan sengketa para pihak sendiri
Penyelesaian tidak diserahkan kepada kemauan dan kehendak hakim atau arbiter, tetapi diselesaikan oleh para pihak sendirisesuai dengan kemauan mereka, karena merekalah yang lebih tau hal yang sebenarnya dan sesungguhnya atas sengketa yang dipermasalahkan.
c.       Jangka waktu penyelesaian pendek
Pada umumnya jangka waktu penyelesaian hanya satu atau dua minggu atau paling lama satu bulan, asal ada ketulusan dan kerendahan hati dari kedua belah pihak. Itu sebabnya bersifat speedy antara 5-6 minggu.
d.      Biaya ringan
Boleh dikatakan tidak diperlukan biaya. Meskipun ada, sangat murah atau zero cost. Hal ini merupakan kebalikan dari sistem peradilan atau arbitrase, harus mengeluarkan biaya mahal (very expensive)
e.       Aturan pembuktian tidak perlu
Tidak ada pertarungan yang sengit antara para pihak untuk saling membantah dan menjatuhkan pihak lawan melalui sistem dan prinsip pembuktian yang formil dan teknis yang sangat ,menjemukan seperti halnya dalam proses arbitrase dan pengadilan.
f.       Proses penyelesaian berdifat konfidensial
Hal lain yang perlu dicatat, penyelesaian melalui perdamaian, benar-bemar bersifat rahasia atau konfidensial:
-          Penyelesaian tertutup untuk umum
-          Yang tahu hanya mediator, konsiliator atau advisor maupun ahli yang bertindak membantu penyelesaian.
2.      Hukum acara menghendaki perdamaian
Sebenarnya sejak semula pasal 130 HIR maupun pasal 154 RGB mengenal dan menghendaki penyelesaian sengketa melalui cara damai. Pasal 130 ayat 1 HIR, bertitik tolak dalam pasal ini sistem yang diatur dalam hukum acara dalam penyelesaian perkara yang diajukan kepada PN, hampir sama dengan court connected arbitration system:
-          Pertama hakim harus membantu atau menolong para pihak yang berperkara untuk menyelesaiakan sengketa dengan perdamaian
-          Selanjutnya apabila tercapai kesepakatan diantara penggugat dan tergugat kesepakatan itu dituangkan dalam perjanjian perdamaian yang ditandatangani para pihak, terhadap perjanjian perdamaian dibuat akta berupa putusan yang dijatuhkan pengadilan yang mencantumkan amar, menghukum para pihak menepati perjanjian perdamaian.
Kalau pada hari sidang yang telah ditetapkan kedua belah pihak hadir, maka hakim harus berusaha mendamaikan mereka (pasal 130 HIR, 154 Rbg). Pada saat inilah hakim dapat berperan secara aktif sebagaimana dikehendaki oleh HIR. Untuk keperluan perdamaian itu sidang lalu diundur untuk memberi kesempatan mengadakan perdamaian. Pada hari siding berikutnya apabila mereka berhasil mengadakan perdamaian, disampaikanlah kepada hakim di persidangan hasil perdamaiannya, yang lazimnya berupa surat perjanjian di bawah tangan yang tertulis di atas kertas bermaterai. Berdasarkan adanya perdamaian antara kedua belah pihak untuk memenuhi isi perdamaiannya yang telah dibuat antara mereka. Adapun kekuatan putusan perdamaian ini sama dengan putusan biasa dan dapat dilaksanakan seperti putusan-putusan lainnya. Hanya dalam hal ini banding tidak dimungkinkan. Usaha perdamaian ini terbuka sepanjang pemeriksaan di persidangan. 
Pada tanggal 11 September 2003 Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA no. 2 tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, dengan mencabut SEMA no. 1 tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai ex Pasal 130 HIE/154 Rbg, karena rupa-rupanya SEMA no. 1 tahun 2002 tersebut kurang efektif.
Isi pokok SEMA no. 2 tahun 2003 tersebut ialah bahwa semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tinggi pertama wajib untuk lebih dulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator (Pasal 2). Di samping itu, hakim wajib menunda proses persidangan perkara itu untuk memberikan kesempatan pada para pihak menempuh proses mediasi (Pasal 3 ayat (2)). Hakim wajib memberikan penjelasan kepada para pihak tentang prosedur dan biaya mediasi (Pasal 3 ayat (3)). Jika mediasi tidak menghasilkan kesepakatan, hakim melanjutkan penyelesaian perkara (Pasal 12 ayat (2)). Penyelenggaraan mediasi yang diselengggarakan di salah satu ruang pengadilan tingkat pertama tidak dikenakan biaya (Pasal 15 ayat (4)). Jika penyelenggaraan mediasi diselenggarakan di luar pengadilan dan menggunakan mediator di luar pengadilan dipungut biaya (Pasal 15 ayat (3), (4)).
Dapat disimpulkan dari SEMA no. 2 tahun 2003 itu tugas mendamaikan di pengadilan diserahkan kepada orang lain, bukan kepada hakim yang pada awalnya memeriksa perkara bahkan kepada orang lain (mediator) di luar pengadilan. Prosedur perdamaian menurut SEMA no. 2 tahun 2003 akan makan waktu lebih lama daripada kalau ditangani oleh hakim yang pada awalnya menangani perkara yang proses mencari mediator. Kalau para pihak menggunakan mediator di luar pengadilan maka sudah jelas bahwa hal itu akan menambah biaya perkara, yang jelas bertentangan dengan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan. Kecuali itu sudah ada ketentuan dalam Pasal 130 HIR/154 Rbg yang jauh lebih praktis dan menghemat waktu karena ditangani oleh seorang hakim, dan di samping itu juga bersifat imperatif.








DAFTAR PUSTAKA
Harahap, Yahya. 2010. Hukum Acara Pedata. Jakarta: Sinar Grafika. Cetakan ke X
Mertokusumo, Sudikno. 2010. Hukum Acara Perdata Indonesia: Yogyakarta: Universitas    
          Atma Jaya Yogyakarta
aan19.files.wordpress.com/2008/05/0013.doc
(http://klinikhukumindonesia.blogspot.com/2012/09/perlawanan-atas-putusan-verstek.html)