HUKUM
ACARA PERDATA
PUTUSAN
GUGUR, PUTUSAN VERSTEK, DAN
PUTUSAN
PERDAMAIAN
Guna memenuhi tugas dari Ibu Sri
Hartini, M. Hum.
Disusun
oleh :
Fransiscus
Teddy 10401244006
Rahma
Putri Damayanti 10401244008
Dwi
Putri Noviani 10401244011
Rahmawati 10401244013
Rofiyani 10401244017
Ufita
Arsono 10401244018
Hikma
Dewi Nastiti 10401244021
Esti
Norma Oktavia 10401244027
Arif
Sobirin Widodo 10401244034
Siti
Nurrohmawati 10401244038
Imam
Sumantri 10401244041
Yatno
Candra
PKnH
B
PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN DAN HUKUM
FAKULTAS
ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS
NEGERI YOGYAKARTA
2012
PUTUSAN
GUGUR
A.
Landasan
hukum dari putusan gugur:
Pengguguran gugatan diatur dalam Pasal 124 Het
Herziene Indonesisch Reglement (“HIR”) yang berbunyi: “Jika penggugat tidak
datang menghadap PN pada hari yang ditentukan itu, meskipun ia dipanggil dengan
patut, atau tidak pula menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, maka surat
gugatannya dianggap gugur dan penggugat dihukum biaya perkara; akan tetapi
penggugat berhak memasukkan gugatannya sekali lagi, sesudah membayar lebih
dahulu biaya perkara yang tersebut tadi.”
B.
Pengertian
Putusan gugur adalah putusan yang menyatakan bahwa
gugatan/permohonan gugur karena penggugat/pemohon tidak pernah hadir, meskipun
telah dipanggil sedangkan tergugat hadir dan mohon putusan.
C.
Waktu
dijatuhkannya putusan gugur:
putusan gugur dijatuhkan pada sidang pertama atau
sesudahnya sebelum tahapan pembacaan gugatan/permohonan
D.
Syarat
terjadinya putusan gugur :
putusan gugur dapat dijatuhkan apabila telah
dipenuhi syarat :
Memerhatikan ketentuan di atas, ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengguguran gugatan:
1.
Syarat pengguguran
Supaya
pengguguran gugatan sah menurut hukum harus dipatuhi syarat sebagai berikut.
a.
Penggugat Telah Dipanggil Secara Patut
Penggugat
telah dipanggil secara patut apabila:
· Surat
panggilan atau exploot telah
dilakukan secara resmi oleh juru sita sesuai dengan ketentuan undang-undang
untuk, untuk hadir atau menghadap pada hari tanggal sidang yang ditentukan;
· Panggilan
dilakukan dengan patut, yaitu antara hari panggilan dengan hari persidangan
tidak kurang dari tiga hari.
b.
Penggugat Tidak Hadir Tanpa Alasan Yang
Sah (Unreasonable Default)
Syarat
yang kedua, penggugat tidak hadir atau tidak menghadap persidangan yang
ditentukan tanpa alasan yang sah, dan juga tidak menyuruh kuasa atau orang lain
untuk mewakilinya. Jika ketidakhadiran berdasarkan alasan yang sah (unseasonable default), ketidakhadiran
penggugat tidak dapat dijadikan alasan untuk menggugurkan gugatan. Pengguguran
yang demikian tidak sah dan bertentangan dengan hukum.
2.
Pengguguran Dilakukan Hakim Secara
Ex-Officio
Pasal
124 HIR memberi kewenangan secara ex-officio
kepada hakim untuk menggugurkan gugatan, apabila terpenuhi syarat dan alasan
untuk itu. Dengan demikian kewenangan itu, dapat dilakukan hakim, meskipun
tidak ada permintaan dari pihak tergugat. Namun hal itu, tidak mengurangi hak
tergugat untuk mengajukan permintaan penggugaran. Malahan beralasan tergugat
mengajukannya, karena ketidakhadiran penggugat dianggap merupakan tindakan
sewenang-wenang kepada tergugat. Sebab ketidakhadiran itu, berakibat proses
pemeriksaan tidak dapat dilakukan karena berbenturan dengan asas pemeriksaan contradictoir.
3.
Rasio pengguguran gugatan
Maksud
utama pelembagaan pengguguran gugatan dalam tata tertib beracara adalah sebagai
berikut.
a.
Sebagai hukuman kepada penggugat
Pengguguran
gugatan oleh hakim, merupakan hukuman kepada penggugat atas kelalaian atau
keingkarannya mengahdiri atau menghadap di persidangan. Sangat layak menghukum
penggugat dengan jalan menggugurkan gugatan, karena ketidakhadiran itu dianggap
sebagai pernyataan pihak penggugat bahwa dia tidak berkepentingan lagi dalam
perkara tersebut.
b.
Membebaskan tergugat dari kesewenangan
Tujuan
lain yang terkandung dalam pengguguran gugatan, membebaskan tergugat dari
tindakan kesewenangan penggugat. Dianggap sangat tragis membolehkan penggugat
berlarut-larut secara berlanjut ingkar menghadiri sidang, yang mengakibatkan
persidangan mengalami jalan buntu pada satu segi, dan pada segi lain tergugat
dengan patuh terus menerus datang menghadirinya, tetapi persidangan gagal
disebabkan penggugat tidak hadirtanpa alasan yang sah. Membiarkan hal seperti
itu berlanjut, merupakan penyiksaan yang menimbulkan kerugian moril dan
materiil bagi tergugat. Menghadapi keadaan yang demikian sangat adil dan wajar
membebaskan tergugat dari belenggu perkara, dengan jalan menggugurkan gugatan
yang dimaksud. Memerhatikan rasio yang dikemukakan diatas, hakim harus tegas
menerapkan ketentuan Pasal 124 HIR, apabila keingkaran penggugat menghadiri
sidang benar-benar tanpa alasan yang sah. Atau apabila alasan ketidakhadiran
yang diajukan bohong, dibuat-buat atau artifisial (artificial).
4.
Pengguguran sidang pertama
Kapan
hakim secara ex-officio berwenang
menggugurkan gugatan? Pasal 124 HIR tidak menegaskan hal itu. Pasal tersebut
hanya mengatakan, kebolehan menggugurkan gugatan, apabila penggugat tidak
datang mengahadap pada sidang yang ditentukan.
a.
Pengguguran pada sidang pertama
Secara
tersirat, makna kalimat jika penggugat tidak hadir menghadap persidangan yang
ditentukan adalah hari sidang pertama. Penafsiran ini disimpulkan berdasarkan
kaitan kalimat itu dengan panggilan. Berdasarkan tata tertib beracara,
relevansi atau urgensi panggilan adalah pada sidang pertama, karena proses
sidang selanjutnya tidak memerlukan panggilan, tetapi cukup melalui pengumuman
pengunduran di sidang panggilan. Pendapat ini, sesuai dengan pedoman yang
digariskan MA, yang mengatakan: jika
penggugat pada hari sidang pertama tidak datang..., tetapi pada hari kedua
itu datang pada hari ketiga penggugat tidak hadir lagi, perkaranya tidak bisa
digugurkan (Pasal 124 HIR/Pasal 148 RBG).
b.
Makna sidang pertama
Yang
dimaksud dengan sidang pertama dalam masalah ini, meliputi hari sidang yang
lain setelah pengguguran. Misalkan hari sidang pertama ditentukan 1 Maret 2002,
untuk itu penggugat telah dipanggil dengan patut. Ternyata tidak hadir memenuhi
panggilan tanpa alasan yang sah. Atau, ketidakhadirannya berdasarkan alasan
yang sah. Berdasarkan ketidakhadiran itu, hakim mengundurkan hari sidang pada
tanggal 15 Maret 2002, dan memerintahkan juru sita menyampaikan panggilan.
Namun, pada hari sidang itu (15 Maret 2002) penggugat tidak hadir tanpa alasan
yang sah. Dalam kasus yang demikian:
· Sidang
pengunduran (15 Maret 2002) tersebut, dianggap dan dikonstruksi sebagai sidang
pertama;
· Oleh
karena itu, pada sidang pengunduran itu tetap melekat hak dan kewenangan hakim
secara ex-officio untuk menggugurkan
gugatan penggugat.
Berdasarkan
penjelasan di atas, pengertian sidang pertama dalam kaitannya denganj
pengguguran gugatan, tidak boleh ditafsirkan dan dikontruksi secara sempit (strict law), tetapi harus diterapkan secara luas meliputi sidang
pengunduran selanjutnya dengan syarat, asal pada sidang sebelumnya penggugat
tidak pernah hadir.
5.
Pengunduran tidak imperatif, tetapi
fakultatif
Kewenangan pengguguran gugatan yang
diatur dalam Pasal 124 HIR, sepintas lalu bersifat imperatif. Seolah-olah pasal
ini berisi perintah kepada hakim, harus atau wajib menggugurkan gugatan apabila
penggugatan tidak datang menghadiri sidang pertama tanpa alasan yang sah.
Sepintas lalu memang demikian, jika an
sich berpedoman secara utuh kepada ketentuan pasal 124 HIR. Menurut pasal
ini, asal penggugat tidak hadir tanpa alasan yang sah, gugatan harus
digugurkan.
Ternyata sifat imperatif yang ada
pada Pasal 124 HIR itu, dianulir oleh Pasal 126 HIR yang menegaskan:
· Sebelum
menjatuhkan putusan pengguguran gugatan yang disebut dalam pasal 124, PN dapat
memerintahkan supaya pihak yang tidak hadir dipanggil untuk kedua kalinya
supaya datang menghadap pada hari sidang yang lain,
· Sedangkan
kepada pihak yang hadir (dalam hal ini tergugat), pengunduran sidang cukup
diberitahukan oleh hakim dalam persidangan, dan pemberitahuan itu oleh hukum
dianggap berlaku sebagai panggilan.
Jadi
bertitik tolak dari ketentuan Pasal 126 HIR, pengguguran gugatan bukan bersifat
imperatif, tetapi fakultatif. Dengan demikian penerapannya, memberi kewenangan
kepada hakim:
· Dapat
mengugurkan gugatan secara langsung pada sidang pertama, atau
· Dapat
mengundurkan sidang dengan jalan memerintahkan juru sita, untuk memanggil
penggugat untuk kedua kalinya.
Akan
tetapi terlepas dari sifat fakultatif yang digariskan di atas, ditinjau dari
segi pendekatan rasio yang terkandung dalam pelembagaa pengguguran, dianggap
lebih tepat menerapkannya ke arah yang bersifat imperatif, demi untuk
melindungi kepentingan tergugat pada satu segi, dan untuk edukasi bagi
penggugat dan masyarakat pada sisi lain.
6.
Putusan Pengguguran Tidak Ne Bis In Idem
Perhatikan kembali Pasal 124 HIR.
Di dalamnya terdapat kalimat yang berbunyi: “akan tetapi penggugat berhak
memasukkan gugatnnya sekali lagi, sesudah membayar lebih dahulu biaya perkara
tersebut.
a.
Putusan Pengguguran Berdasarkan Alasan
Formil
Putusan pengguguran gugatan,
diambil dan dijatuhkan:
· Sebelum
diperiksa materi pokok perkara,
·
Oleh karena itu, putusan diambil
berdasarkan alasan formil yaitu atas alasan penggugat tidak hadir tanpa alasan
yang sah (unreasonable default),
·
Dengan demikian putusan pengguguran
bukan putusan mengenai pokok perkara, sehingga dalam putusan tidak melekat ne bis in idem yang digariskan Pasal
1917 KUH Perdata. Berarti sekiranya pun putusan telah mempunyai kekuatan hukum
tetap (res judicata), pada putusan
tidak melekat unsur ne bis in idem.
b.
Putusan Pengguguran Dijatuhkan Secara
Sederhana
Mengenai
menjatuhkan putusan pengguguran gugatan, dapat berpedoman kepada ketentuan
Pasal 176 Rv:
·
Dilakukan tanpa hadirnya penggugat,
dalam sidang secara sederhana,
·
Namun tetap dituangkan dalam bentuk
putusan sebagaimana mestinya.
·
Putusan Pengguguran Diberitahukan Kepada
Penggugat
Menurut pasal 276 Rv,
untuk tegasnya kepastian hukum:
·
Putusan pengguguran gugatan
diberitahukan kepada penggugat,
·
Pemberitahuan dilakukan oleh juru sita,
sesuai dengan ketentuan Pasal 390 HIR.
Dengan adanya pemberitahuan, menjadi
dasar bagi penggugat untuk melakukan upaya hukum yang proposional untuk itu.
c.
Penggugat Berhak Mengajukan Kembali
Seperti
yang telah dijelaskan di atas, dalam putusan pengguguran tidak melekat unsur ne bis in idem sehingga putusan tersebut
tidak termasuk putusan yang disebut Pasal 1917 KUH Perdata. Oleh karena itu,
sangat tepat ketentuan Pasal 124 HIR yang memberi hak kepada Penggugat untuk
mengajukan kembali gugatan itu kepada PN untuk diproses sebagaimana mestinya.
Terdapat pengajuan kembali, tergugat tidak dapat mengajukan keberatan atau
perlawanan.
d.
Pengajuan Kembali Dengan Membayar Biaya
Perkara
Pengajuan
kembali, dianggap sebagai perkara baru. Oleh karena itu, terhadap pengajuan
berlaku ketentuan Pasal 121 ayat (4) HIR:
·
Harus lebih dahulu dibayar biaya
perkara, sejumlah panjar perkara yang ditentukan oleh panitera;
·
Atas bukti pembayaran itu, baru
dilakukan pendaftaran dalam registrasi.
7.
Pengguguran Gugatan Dibarengi Perintah
Pengangkatan Sita Jaminan (CB)
Putusan
pengguguran gugatan yang dijatuhkan pengadilan menimbulkan akibat hukum
terhadap semua tindakan hukum yang telah diambil pengadilan. Sekiranya dalam
perkara yang bersangkutan telah diletakkan sita jaminan terhadap milik tergugat
atau objek barang sengketa:
·
sita tersebut harus diangkat;
·
pengangkatan sita itu, dicantumkan dalam
amar putusan yang berisi perintah mengangkat sita;
·
namun, apabila penggugat mengajukan
kembali perkara itu, dia berhak meminta lagi agar sita diletakan. Namun
permintaan itu tidak dengan sendirinya dikabulkan, tetapi harus berdasar
pertimbangan baru lagi.
E.
Akibat
Hukum Putusan Gugur
Akibat
hukum putusan Gugur diatur dalam Pasal 77 Rv, sebagai berikut:
1. Pihak
Tergugat, dibebaskan dari perkara dimaksud. Putusan Pengguguran gugatan yang
didasarkan atas keingkaran Penggugat menghadiri sidang pertama, merupakan
putusan akhir (eind vonnis) yang bersifat menyudahi proses pemeriksaan secara
formil. Artinya, putusan itu mengakhiri pemeriksaan meskipun pokok perkara
belum diperiksa. Itu sebabnya undang-undang menyatakan dibebaskan dari perkara
itu.
2. Terhadap
putusan pengguguran gugatan tidak dapat diajukan perlawanan atau verzet. Sifat
putusannya:
· Langsung
mengakhiri perkara, karena itu langsung pula mengikat kepada para pihak
atau final and binding,
· Selain
terhadapnya tidak dapat diajukan perlawanan, juga tertutup upaya hukum,
sehingga tidak dapat diajukan banding atau kasasi.
3. Penggugat
dapat mengajukan gugatan baru. Satu-satunya jalan yang dapat ditempuh Penggugat
adalah mengajukan gugatan baru dengan materi pokok perkara yang sama, karena
dalam putusan gugur tidak melekat ne bis in idem sehingga dapat
diajukan sebagai perkara baru, dan untuk itu Penggugat dibebani membayar biaya
perkara baru.
Dalam Pasal 273 ; 277 Rv mengenal aturan
yang mengatur tentang pengguguran perkara bukan pencoretan pendaftaran, tetapi
tidak dijelaskan dengan tegas sebab-sebab digugurkannya perkara dan dapat
dipastikan di sini termasuk karena kelalaian pihak apa karena kekurangan biaya
perkara ataupun sebab-sebab lainnya. Namun sebelum digugurkan tersebut ada
beberapa tahap yang harus dilalui sebagai berikut:
1) Perkara
sudah terhenti selama tiga tahun, dan masih ada kesempatan dalam waktu enam
bulan untuk melanjutkan perkara;
2) Adanya
permohonan untuk digugurkan dari pihak yang berkepentingan, dan permohonan
untuk menggugurkan itu dapat dicegah dengan tindakan hukum oleh salah satu
pihak sebelum pernyataan gugur;
3) Pernyataan
gugur itu dilakukan dalam sidang secara sederhana dan diberitahukan kepada
pihak yang bersangkutan atau ditempat tinggalnya;
4) Pernyataan
gugur itu tidak membatalkan tuntutan, melainkan hanya acara perkara yang telah
dimulai;
5) Biaya
perkara karena pernyataan gugur itu dianggap sudah dibayar;
Dan bila mengajukan gugatan baru, maka
pihak-pihak satu sama lain berhak untuk mengajukan lagi sumpah-sumpah,
pengakuan-pengakuan dan keterangan-keterangan yang telah diberikan olehnya
dalam perkara yang terdahulu, begitu juga keterangan-keterangan yang telah
diberikan oleh saksi-saksi yang sudah meninggal dunia, jika hal itu dicantumkan
dalam berita acara yang dibuat dengan baik. Ketentuan-ketentuan dalam Rv
tersebut jelas acaranya, Hakim jelas apa yang diperbuat sebagai tugas tehnis
yudisial karena ada cantolannya, hal ini jelas tidak sama dengan
pembatalan/pencoretan pendaftaran perkara.
PUTUSAN
VERSTEK
A.
Istilah
dan Pengertian
Dalam penulisan ada yang memeprgunakan
istilah “hukum acara tanpa hadir”. Sedangkan Soepomo menyebut “acara luar
hadir”. Mengenai pengertian verstek, tidak terlepas kaitannya dengan fungsi
beracara dan penjatuhan putusan putusan atas perkara yang disengketakan, yang
memberi wewenang kepada hakim menjatuhkan putusan tanpa hadirnya penggugat atau
tergugat. Sehubungan dengan itu, persoalan verstek tidak lepas kaitannya dengan
ketentuan pasal 124 HIR (pasal 77 Rv) dan pasal 125 ayat (1) HIR (pasal 73 Rv).
Pasal 124 HIR, pasal 77 Rv, mengatur verstek kepada penggugat
Berdasarkan
pasal diatas, hakim berwenang menjatuhkan putusan di luar hadir atau tanpa
hadir penggugat dengan syarat:
1)
Bila penggugat tidak hadir pada sidang
yang ditentukan tanpa alasan yang sah,
2)
maka dalam peristiwa seperti itu, hakim
berwenang memutus perkara tanpa hadirnya penggugat yang disebut verstek, yang
memuat diktum:
3)
Membebaskan tergugat dari perkara
tersebut,
4)
Menghukum penggugat membayar biaya
perkara,
5)
Terhadap putusan verstek itu penggugat
tidak dapat mengajukan perlawanan (verzet) maupun upaya banding dan kasasi,
sehingga terhadap putusan tertutup upaya hukum,
6)
Upaya yang dapat dilakukan penggugat
adalah mengajukan kembali gugatan itu sebagai perkara baru dengan membayar
biaya perkara,
7)
Pasal 125 ayat (1) HIR, pasal 73 Rv,
mengatur verstek terhadap tergugat
Berdasarkan pasal tersebut, kepada hakim
diberi wewenang menjatuhkan putusan di luar hadir atau tanpa hadirnya tergugat,
dengan syarat:
·
Apabila tergugat tidak datang menghadiri
sidang pemeriksaan yang ditentukan tanpa alasan yang sah (default wihthout
reason),
·
Dalam hal seperti itu, hakim menjatuhkan
putusan verstek yang berisikan diktum:
-
Mengabulkan gugatan seluruhnya atau
sebagian, atau
-
enyatakan gugatan tidak dapat diterima
apabila gugatan tidak mempunyai dasar hukum
Memperhatikan penjelasan diatas,
pengertian verstek ialah pemberian wewenang kepada hakim untuk memeriksa dan
memutus perkara meskipun penggugat atau tergugat tidak hadir di persidangan
pada tanggal yang ditentukan. Dengan demikian putusan diambil dan dijatuhkan
tanpa bantahan atau sanggahan dari pihak yang tidak hadir.
B.
Tujuan
Verstek
Maksud
utama sistem verstek dalam hukum acara adalah untuk mendorong para pihak
menaati tata tertib beracara, sehingga proses pemeriksaan penyelesaian perkara
terhindar dari anarki atau kesewenangan.
Sekiranya undang-undang menentukan bahwa untuk sahnya proses pemeriksaan
perkara, mesti dihadiri para pihak, ketentuan yang demikian tentunya dapat
dimanfaatkan tergugat dengan itikad buruk untuk menggagalkan penyelesaian
perkara. Setiap kali dipanggil menghadiri sidang, tergugat tidak menaatinya
dengan maksud untuk menghambat pemeriksaan dan penyelesaian perkara.
C.
Syarat
Acara Verstek
Perihal
syarat sahnya penerapan verstek kepada tergugat, merujuk kepada ketentuan pasal
125 ayat (1) HIR atau pasal 78 Rv. Bertitik tolak dari pasal tersebut, dapar
dikemukakan syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Tergugat Telah Dipanggil dengan Sah dan
Patut
a.
Yang melaksanakan pemanggilan juru sita
Hal
itu ditegaskan dalam pasal 388 jo. Passal 390 ayat (1) HIR. Menurut pasal itu,
yang diwajibkan menjalankan panggilan adalah juru sita PN. Jika pihak yang
hendak dipanggil berada di luar yurusdiksi relatif yang dimilikinya, panggilan
dilakukan berdasarkan pasal 4 Rv, yaitu mendelegasikan kepada juru sita yang
berwenang di daerah hukum itu.
b.
Bentuknya dengan surat panggilan
Berdasarkan
pasal 390 ayat (1), pasal 2 ayat (3) Rv panggilan dilakukan dalam bentuk:
·
Surat tertulis yang disebut surat
panggilan atau relaas panggilan (bericht report)
·
Panggilan tidak sah dalam bentuk lisan
(oral) karena secara teknis yustisial, sangat
sulit atau tidak dapat
dibuktikan kebenarannya sehingga dapat merugikan kepentingan tergugat
c.
Cara pemanggilan yang sah
Kategori
cara pemamggilan yang sah, digariskan dalam pasal 390 ayat (1) dan (3) HIR atau
pasal 6 ke7- Rv
Tempat
tinggal tergugat diketahui:
-
Disampaikan kepada yang bersangkutan
sendiri atau keluarganya
-
Penyampaian dilakukan di tempat tinggal
atau tempat tempat dominili pilihan
-
Disampaikan kepada kepala desa, apabila
yang bersangkutan dan keluarga tidak ditemukan juru sita di tempat kediaman.
Tempat tinggal tidak
diketahui:
-
Juru sita menyampaikan panggilan kepada
walikota atau bupati, dan
-
Walikota atau bupati mengumumkan atau
memaklumkan surat juru sita itu dengan jalan menempelkan pada pintu umum kamar
sidang PN.
-
Pemanggilan tergugat yang berada di luar
negeri
Cara
pemanggilan dalam kasus seperti ini, tidak diatur dalam HIR dan RBG. Oleh
karena itu, dalam praktik dipedomani keputusan dalam bentuk melalui jalur
diplomatik. Jika tempat tinggal tergugat di luar negeri tidak diketahui, tata
cara panggilan tunduk kepada ketentuan pasal 390 ayat (3) HIR.
·
Pemanggilan terhadap tergugat yang
meninggal
Tata
caranya berpedoman pada pasal 390 ayat (2) HIR dan pasl 7 Rv.
-
Apabila ahli waris dikenal, panggilan
ditujukan kepada semua ahli waris tanpa menyebut identitas mereka satu persatu
dan panggilan disampaikan di tempat tinggal almarhum pewaris
-
Apabila ahli waris tidak dikenal,
panggilan disampaikan melalui kepala desa di tempat tinggal terakhir almarhum
pewaris.
d.
Jarak Waktu Pemanggilan dengan Hari
Sidang
Supaya
panggilan sah dan patut, harus berpedoman kepada pasal 122 HIR atau pasal 10
Rv. Pasal tersebut mengatur jarak waktu anatar pamanggilan dengan hari sidang.
· Dalam
keadaan normal, digantungkan pada faktor jarak tempat kediaman tergugat dengan
gedung PN:
-
8 (delapan) hari, apabila jaraknya tidak
jauh
-
14 (empat belas) hari, apabila jaraknya
agak jauh, dan
-
20 (dua puluh) hari, apabila jaraknya
jauh
·
Dalam keadaan mendesak
Menurut
pasal 122 HIR, dalam keadaan mendesak jarak waktunya dapat dipersingkat, tetapi
tidak boleh kurang dari 3 hari.
2.
Tidak Hadir Tanpa Alasan yang Sah
Syarat
yang kedua, tergugat tidak datang menghadiri penggilan sidang tanpa alasan yang
sah. syarat ini ditegaskan dalam pasal 125 ayat (1) HIR:
· Tergugat
tidak datang pada hari perkara itu diperiksa, atau
· Tidak
menyuruh orang lain sebagai kuasa yang bertindak mewakilinya,
· Padahal
tergugat telah dipanggil dengan patut, tetapi tidak menghiraukan dan menaati
panggilan tanpa alasan yang sah
· Dalam
kasus seperti itu, hakim dapat dan berwenang menjatuhkan putusan verstek, yaitu
putusan di luar hadir tergugat.
Jadi, apabila tergugat in person atau wakilnya tidak hadir
memenuhi panggilan pemeriksaan di sidang pengadilan yang ditentukan, padahal
telah dipanggil dengan patut, kepada tergugat dapat dikenakan hukuman berupa
penjatuhan putusan verstek.
3.
Tergugat Tidak Mengajukan Eksepsi
Kompetensi
Berdasarkan
pasal 125 ayat (2) jo. Pasal 121 HIR, hukum acara memberi hak kepada tergugat
mengajukan eksepsi kompetensi, baik absolut berdasarkan pasal 134 HIR atau
relatif berdasarkan pasal 133 HIR. Apabila tergugat tidak mengajukan eksepsi
seperti tiu, kemudian tergugat tidak memenuhi panggilan sidang berdasarkan
alasan yang sah, hakim dapat langsung menyelesaikan perkara berdasarkan
verstek.
D.
Penerapan
Acara Verstek Tidak Imperatif
Pada
satu sisi, undang-undang mendudukan
kehadiran tergugat di sidang sebagai hak, bukan kewajiban yang bersifat
imperatif. Hukum menyerahkan sepenuhnya apakah tergugat mempergunakan hak itu
untuk membela kepentingannya. Disisi lain, undang-undang tidak memaksakan
penerapan acara verstek secara imperatif. Hakim tidak mesti menjatuhkan putusan
verstek terhadap tergugat yang tidak hadir memenuhi panggilan. Penerapannya
bersifat fakultatif. Kepada hakim diberi kebebasan untuk menerapkannya atau
tidak.
E.
Penerapan
Acara Verstek ( Putusan di Luar Hadir)
Ada
kemungkinannya pada hari sidang yang telah ditetapkan tergugat tidak datang dan
tidak pula mengirimkan wakilnya menghadap di persidangan, sekalipun sudah
dipanggil denagn patut oleh jurusita. Tidak ada keharusan bagi tergugat untuk
datang di persidangan. HIR memang tidak mewajibkan tergugat untuk datang di
persidangan. Kalau tergugat tidak datang setelah panggilan dengan patut, maka
gugatan dikabulkan dengan putusan diluar hadir atau verstek, kecuali kalu
gugatan itu melawan hak atau tidak beralasan.
Tentang
kapan boleh dijatukan putusan verstek ada yang berpendapat bahwa putusan
verstek harus dijatuhkan pada hari sidang pertama, yang mendasarkan pada
kata-kata “ten dage dienende” dalam
pasal 123 HIR (pasal 149 Rbg) yang diartikan sebagai hari sidang pertama.
Sebaliknya ada yang berpendapat bahwa kata-kata “ten dage dienende” dapat pula
diartikan ”ten dage dat de zaak dient” yang
berarti tidak hanya hari sidang pertama saja. Pasal 126 HIR (pasal 150 Rbg)
memberi kelonggaran untuk dipanggil sekali lagi. Kata verstek itu sendiri
berarti pernyataan bahwa tergugat tidak datang pada hari sidang pertama. Ada
kalanya putusan verstek itu dijalankan (pasal 129 ayat 2 HIR. 153 ayat 2 Rbg).
Tuntutan
perlawanan (verzet) terhadap putusan verstek diajukakn dan diperiksa seperti
perkara consevatoir. Dalam acara perlawanan yang mengajukan perlawanan
(pelawan, apposant) tetap menduduki kedudukannya sebagai tergugat seperti dalam
perkara yang telah diputus verstek, sedang terlawan ( geoppossende) tetap
sebagi penggugat. Apabila perlawanan diterima oleh pegadilan, maka pelaksanaan
putusan verstek terhenti, kecuali kalau ada perintah untuk melanjutkan
pelaksanaan putusan verstek itu ( pasal 129 ayat 4 HIR, 153 ayat 5 Rbg).
Dalam
pemeriksaan perlawanan (verzetprocedure) oleh karena kedudukan para pihak tidak
berubah, maka pihak penggugatlah (terlawan) yang harus mulai dengan pembuktian.
Kalau dalam acara perlawanan penggugat tidak datng, maka perkara diperiksa
secara consevatoir. Sedangkan kalau tergugat dalam acara perlawanan itu tidak
datng lagi, maka untuk kedua kalinya diputus verstek, terhadap mana tubtutab
perlawanan (verzet) tidak diterima (pasal 129 ayat 5 HIR, 153 ayat 6 Rbg). Jika
terdapat bebrapa orang tergugat, sedang salah seorang atau lebih di antaranya
tidak datang atau tidak menyuruh wakilnya menghadap meskipun telah dipanggil
dengan patut, perkara diperiksa secara consevatoir. Apabila kedua belah pihat
tidak datang pada hari sidang yang telah ditentukan, meskipun kedua-duanya
telah dipanggil dengan patut, maka denagn kewibawaan badan pengadilan serta
agar jangan sampai ada perkara yang berlarut-larut tidak berketentuan dalam hal
ini gugatan perlu dicoret dari daftar dan dianggap tidak pernah ada, walaupun
tentang hal ini tidak ada ketentuannya.
Khusus
dalam perkara perceraian, maka hakim wajib membuktikan dulu kebenaran
dalil-dalil tergugat dengan alat bukti yang cukup sebelum menjatuhkan putusan
verstek. Apabila tergugat mengajukan verzet, maka putusan verstek menjadi
mentah dan pemeriksaan dilanjutkan pada tahap selanjutnya perlawanan (verzet
berkedudukan sebagai jawaban tergugat). Apabila perlawanan ini diterima dan
dibenarkan oleh hakim berdasarkan hasil pemeriksaan/pembuktian dalam sidang,
maka hakim akan membatalkan putusan verstek dan menolak gugatan penggugat.
Tetapi bila perlawanan itu tidak diterima oleh hakim, maka dalam putusan akhir
akan menguatkan verstek, terhadap putusan akhir ini dapat dimintakan banding.
Putusan verstek yang tidak diajukan verzet dan tidak pula dimintakan banding,
dengan sendirinya menjadi putusan akhir yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
F.
Bentuk
Putusan Verstek
Mengenai
bentuk putusan verstek yang dapat dijatuhkan, diatur dalam pasal 125 ayat (1)
HIR, pasal 149 RBG, dan pasal 78 Rv. Pasal 125 ayat (1) berbunyi:
Jika tergugat tidak datang pada
hari perkara itu diperiksa, atau tidak pula menyuruh orang lain menghadap
mewakilinya, meskipun ia dipanggil dengan patut maka gugatan itu terima dengan
tidak hadir (verstek), kecuali kalau nyata kepada PN bahwa pendakwa itu melawan
hak atau tidak beralasan.
Memperhatikan
kalimat terakhir pasal di atas, bentuk putusan verstek yang dijatuhkan
pengadilan terdiri dari:
1.
Mengabulkan Gugatan Penggugat
Bentuk
putusan verstek yang pertama, mengabulkan gugatan penggugat. Apabila hakim
hendak menerapkan acara verstek, pada prinsipnya, putusan yang harus dijatuhkan
mengabulkan gugatan penggugat. Bertitik tolak dari prinsip tersebut, tanggung
jawab hakim dalam penerapan acara verstek adalah berat. Tanpa melalui proses
pemeriksaan yang luas dan mendalam terhadap fakta-fakta yang melekat pada
sengketa, hakim mengabulkan gugatan, semata-mata berdasarkan surat gugatan yang
diajukan penggugat. Berarti putusan diambil tanpa perlawan dan bantahan dari
pihak tergugat.
Sejauhmana
jangkauan pengabulan yang dapat dituangkan dalam putusan verstek, terdapat
perbedaan pendapat.
a)
Mengabulkan seluruh gugatan.
b)
Boleh mengabulkan sebagian saja.
2.
Menyatakan Gugatan Tidak dapat di Terima
Kalimat
terakhir pasal 125 ayat (1) HIR menegaskan: kecuali nyata kepada pengadilan
negeri, gugatan melawan hukum atau tidak beralasan. Memperhatikan ketentuan
diatas hakim harus menyatakan gugatan tidak dapat diterima apabila gugatan:
-
Melawan hukum atau ketertiban dan
kesusilaan
-
Tidak beralasan atau tidak mempunyai
dasar hukum
3.
Menolak Gugatan Penggugat
Malahan
bukan hanya terbatas pada bentuk putusan yang menyatakan gugatan tidak dapat
diterima, tetapi dapat juga berbentuk menolak gugatan penggugat. Jika menurut
pertimbangan hakim, gugatan yang diajukan tidak didukung alat bukti yang
memenuhi batas minimal pembuktian, hakim dapat menjatuhkan putusan verstek yang
memuat diktum: Menolak gugatan penggugat . sekiranya penggugat keberatan terhadap
putusan itu, ia dapat mengajukan banding berdasarkan pasal 8 ayat (1)
undang-undang no 20 tahun 1947.
G.
Upaya
Hukum Terhadap Putusan Versyek
Pasal
129 HIR, pasal 153 RBG mengatur berbagai aspek mengenai upaya hukum terhadap
putusan verstek:
·
Ayat (1) mengenai bentuk upaya hukumnya
yaitu perlawanan atau verzet,
·
Ayat (2) mengenai tenggang waktu
·
Ayat (3) mengatur cara pengajuan hukum,
·
Ayat (4) mengatur permintaan penundaan
eksekusi putusan verstek,
·
Ayat (5) ketentuan tentang pengajuan
verzet terhadap verstek.
Demikian gambaran singkat tentang
aspek-aspek yang berkenaan dengan upaya hukum terhadap putusan verstek.
Pengaturan yang bersifat spesifik terhadap upaya hukum terhadap putusan verstek
sejalan dengan kekhususan yang melekat pada putusan verstek itu sendiri.
H. Perlawanan Atas Putusan Verstek
Dalam
suatu perkara telah diputus secara verstek, dapat dilakukan upaya hukum
berupa verzet, yang diajukan di pengadilan yang memutus verstek tersebut
dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
Pertama, sesuai Pasal 129 HIR/153 RBg, Tergugat/Para Tergugat yang
dihukum dengan verstek berhak mengajukan verzet atau perlawanan dalam waktu 14
hari terhitung setelah tanggal pemberitahuan putusan verstek itu kepada
Tergugat semula jika pemberitahuan tersebut langsung disampaikan sendiri kepada
yang bersangkutan. Pasal 391 HIR dalam menghitung tenggat waktu maka
tanggal/hari saat dimulainya penghitungan waktu tidak dihitung.
Kedua, jika putusan itu tidak
langsung diberitahukan kepada Tergugat sendiri dan pada waktu aanmaning
Tergugat hadir, maka tenggat waktunya sampai pada hari kedelapan sesudah
aanmaning (peringatan).
Ketiga, jika Tergugat tidak hadir pada waktu aanmaning maka tenggat
waktunya adalah hari kedelapan sesudah sita eksekusi dilaksanakan. (Pasal 129
ayat 2 Jo. Pasal 196 HIR dan Pasal 153 ayat 2 Jo. Pasal 207 RBg). Kedua perkara
tersebut (perkara verstek dan verzet terhadap verstek) didaftar dalam satu
nomor perkara.
Keempat, perkara verzet sedapat mungkin dipegang oleh Majelis Hakim
yang telah menjatuhkan putusan putusan verstek.
Kelima, hakim yang melakukan pemeriksaan perkara verzet atas putusan
verstek harus memeriksa gugatan yang telah diputus verstek tersebut secara
keseluruhan. Pemeriksaan perkara verzet dilakukan secara biasa (lihat Pasal 129
ayat 3 HIR, Pasal 153 ayat 3 RBg dan SEMA No 9 Tahun 1964).
Keenam, apabila dalam pemeriksaan verzet pihak Penggugat asal
(Terlawan) tidak hadir, maka pemeriksaan dilanjutkan secara contracdictoire,
akan tetapi apabila Pelawan yang tidak hadir, maka Hakim menjatuhkan putusan
verstek untuk kedua kalinya. Terhadap putusan verstek yang dijatuhkan kedua
kalinya ini tidak dapat diajukan perlawanan, tetapi bisa diajukan upaya hukum
banding (pasal 129 ayat 5 HIR dan Pasal 153 ayat 5 RBg).
Ketujuh, apabila verzet diterima dan putusan verstek dibatalkan maka
amar putusannya berbunyi:
·
Menyatakan Pelawan adalah
Pelawan yang benar
·
Membatalkan putusan
verstek
·
Mengabulkan gugatan
Penggugat atau menolak gugatan Penggugat
Kedelapan, apabila verzet tidak diterima dan putusan verstek tidak
dibatalkan, maka amar putusannya berbunyi: "Menyatakan Pelawan
adalah Pelawan yang tidak benar" atau "Menguatkan putusan
verstek tersebut"
Kesembilan, terhadap putusan verzet tersebut kedua belah pihak berhak
mengajukan banding. Dalam hal diajukan banding, maka berkas perkara
verstek dan verzet disatukan dalam satu berkas dan dikirim ke
Pengadilan Tinggi dan hanya menggunakan satu nomor perkara.
I.
Eksekusi
Putusan Verstek
Ketentuan
mengenai eksekusi putusan verstek diatur dalam pasal 128 HIR. Sudah barang
tentu, ketentuan itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan prinsip
umum pelaksanaan eksekusi yang digariskan pasal 195 HIR. Pada dasarnya pasal
128 HIR hanya terbatas secara khusus mengatur pada kapanputusan verstek melekat
kekuatab eksekutorial. Sedangkan bagaimana cara melaksanakan eksekusi tunduk
kepada ketentua yang digariskan pasal 195 HIR.
1.
Putusan verstek tidak dapat dieksekusi
sebelum lewat tanggal 14 hari dari tanggal pemberi tanggal putusan
2.
Dapat dieksekusi sebelum lewat tenggang
14 hari atas alasan sangat perlu.
3.
Perlawanan (verzet) menyingkirkan
eksekusi.
PUTUSAN PERDAMAIAN
Penyelesaian melalui perdamaian
Penyelesaian
melalui perdamaian diatur dalam pasal 6 PERMA yang berbunyi : hakim berkewajiban mendorong para pihak
untuk menyelesaikan perkaradimaksud melalui perdamaian, baik pada awal
persidangan maupun selama berlangsungnya pemeriksaan perkara.
Bertitik
tolak dari ketentuan pasal dimaksud dapat menjelaskan hal-hal berikut.
1. Hakim
wajib mendamaikan
Pasal
ini berisi perintah kepada hakim , wajib mendamaikan para pihak. Namun dalam
praktik kewajiban itu, bersifat proforma saja. Kewajiban itu hanya tertulis
saja, tapi isinya dalam praktik sangat berbeda. Kenyataan itu tercermin dari
pengalaman selama ini atas penerapan pasal 30 HIR. Sangat jarang hakim yang
berdedikasi menyelesaikan perkara melalui perdamaian, sehingga ketentuan pasal
130 HIR itu, tidak berfungsi sama sekali. Demikian juga nasib pasal 6 PERMA,
hanya hiasan formal belaka tanpa daya.
Penerapan kewajiban mendamaikan yang
diatur pasal 6 itu:
Kewenangannya
berupa tindakan:
-
Mendorong para pihak menyelesaikan
perkara melalui perdamaian
-
Apakah mereka mau berdamai apa tidak, terserah
sepenuhnya kepada para pihak
-
Hakim tidak dapat memaksa mereka untuk
berdamai
Berlangsungnya
kewajiban mendorong perdamaian dapat diupayakan hakim:
-
Mulai dari saat awal persidangan
-
Maupun selama proses pemeriksaan
berlangsung
-
Batasnya, sampai putusan dijatuhkan
Secara harfiah,
kewajiban mendorong perdamaian dapat dikatakan bersifat imperatif. Buktinya
tindakan perdamaian harus tegas disebut dalam berita acara sidang maupun dalam
putusan. Namun dalam pelaksanaan, selain tidak dilaksanakan secara seriusmelalui
berbagai cara pendekatan, perdamaian itu sendiri tidak dapat dipaksakan diluar
kehendak para pihak.
Akan tetapi, dengan
ditertibkannya PERMA No.2 tahun 2003 ( 11 september 2003), dengan memaksakan
secara imperatif semua penyelesaian perkara mesti lebih dahulu ditempuh melalui
proses mediasi, dan baru boleh ditempuh proses litigasi apabila mediasi gagal.
Ketentuan pasal 6 harus tunduk kepada sistem perdamaian yang diatur dalam PERMA
No. 2 tahun 2003 tersebut.
2. Perdamaian
dituangkan dalam putusan perdamaian
Bertitik
tolak dari ketentuan pasal 10 PERMA, tata cara pemeriksaan perdamaian yang
diatur dalam pasal 6 tunduk kepada pasal 31 HIR, dengan acuan sebagai berikut:
-
Para pihak menyepakati sendiri materi
perdamaian
-
Kesepakatan dibuat dan dirumuskan di
luar persidangan tanpa campur tangan hakim
-
Persetujuan dituangkan dalam bentuk
tertulis, dan ditandatangani para pihak
-
Selanjutnya para pihak meminta kepada
hakim agar terhadap kesempatan itu:
·
Dijatuhkan putusan perdamaian
·
Atas permintaan itu hakim menjatuhkan
putusan yang memuat diktum “menghukum para pihak memenuhi dan melaksanakan isi
perdamaian”
Putusan
perdamaian menurut pasal 130 HIR dianggap sama dengan putusan yang berkekuatan
hukum tetap:
-
Tertutup terhadapnya upaya banding dan
kasasi
-
Langsung final dan mengikat kepada para
pihak
-
Serta langsung melekat padanya kekuatan
eksekutorial sehingga apabila tidak dilaksanakan secara sukarela, dapat
dijalankan eksekusi melalui PN.
3. Kelemahan
pasal 6 PERMA
Apabila
dibandingkan dengan sistem perdamaian CA yang diatur dibeberapa negara, pasal 6
PERMA mengandung kelemahan
a. Tidak
mengatur Unfair settlement
Ketentuan unfair
settlement( perdamaian yang tidak jujur) sangat penting dan berperan
menghindari tindakanwakil kelompok bersekongkol dengan tergugat. Di Amerika
untuk menghindari terjadinya unfair settlement yang merugikan anggota kelompok,
undang-undang memberikan kewenangan kepada hakim untuk:
-
Menilai dan mempertimbangkan apakah
perdamaian yang disepakati itu unfair(tidak jujur), unreasonable( tidak patut)
-
Berdasarkan penilaian itu hakim
berwenang menentukan menyetujui atau tidak menyetujui perdamaian.
Kekosongan hukum ini
besar kemungkinan akan dimanfaatkan wakil kelompok untuk melakukan persengkolan
dengan tergugat membuat perdamaian yang tidak fair dan tidak reasonable, dengan
cara suap yang dapat merugikan anggota kelompok.
b. Tidak
memberi hak mengajukan keberatan
Selain kelemahan
tersebut diatas, PERMA juga tidak memberi hak mengajukan keberatan (objection
right) kepada anggota kelompok terhadap perdamaian yang merugikan kelompok
mereka. Kekosongan hukum ini mempersulit anggota kelompok melakukan pengawasan
terhadap perilaku dan tindakan wakil kelompok yang nyata-nyata merugikan
kepentingan mereka.
Penyelesaian
sengketa melalui perdamaian jauh lebih efektif dan efisien. Itu sebabnya pada
masa belakangan ini, berkembang berbagai cara penyelesaian sengketa (settlement
method) di luar pengadilan, yang dikenal dengan alternative dispute resolution(
ADR), dalam berbagai bentuk, seperti:
-
Mediasi melalui sistem kompromi diantara
para pihak, sedang pihak ketiga yang bertindak sebagai mediator hanya sebagai
penolong (helper) dan fasilitator
-
Konsiliasi melalui konsiliator yakni
pihak ketigayang bertindak sebagai konsiliatorberperan merumuskan perdamaian
dan tetapi keputusan tetap di tangan para pihak.
-
Expert determination yakni menunjuk
seorang ahli memberi penyelesaian yang menentukan . oleh karena itu keputusan
yang diambilnya mengikat para pihak.
-
Mini trial yakni para pihak sepakat
menunjuk seorang advisor yang akan bertindak sebagai memberi opini kepada kedua
belah pihak, opini diberikan advisor setelah mendengar permasalahan sengketa
dari kedua belah pihak, opini berisi kelemahan dan kelebihan masing-masing
pihak, serta memberi pendapat bagaimana cara menyelesaiakanyang harus ditempuk
para pihak.
Demikian sepintas lalu bentuk-bentuk
cara penyelesaian sengketa yang berkembang di luar pengadilan maupun
arbitrase. Memang masih ada bentuk lain
seperti summary jury trial. Namun apa yang dikemukakan diatas membuktikan perkembangan
cara penyelesaian sengkea diluar pengadialan.
1. Penyelesaian
melalui perdamaian mengandung berbagai keuntungan
Penyelesaian perkara
melalui perdamaian, apakah itu dalam bentuk mediasi, konsiliasi, expert
determination atau mini trial mengandung berbagai keuntungan substansial dan
psikologis, yang terpenting diantaranya:
a. Penyelesaian
bersifat informal
Peneyelesaian melalui
pendekatan nurani bukan berdasarkan hukum. Kedua belah pihak melepaskan diri
dari kekakuan istilah hukum (legal term) kepada pendekatan yang bercorak nurani
dan moral. Menjauhkan pendekatan doktrin dan asas pembuktian ke arah persamaan
persepsi yang saling menguntungkan.
b. Yang
menyelesaikan sengketa para pihak sendiri
Penyelesaian tidak
diserahkan kepada kemauan dan kehendak hakim atau arbiter, tetapi diselesaikan
oleh para pihak sendirisesuai dengan kemauan mereka, karena merekalah yang
lebih tau hal yang sebenarnya dan sesungguhnya atas sengketa yang
dipermasalahkan.
c. Jangka
waktu penyelesaian pendek
Pada umumnya jangka
waktu penyelesaian hanya satu atau dua minggu atau paling lama satu bulan, asal
ada ketulusan dan kerendahan hati dari kedua belah pihak. Itu sebabnya bersifat
speedy antara 5-6 minggu.
d. Biaya
ringan
Boleh dikatakan tidak
diperlukan biaya. Meskipun ada, sangat murah atau zero cost. Hal ini merupakan
kebalikan dari sistem peradilan atau arbitrase, harus mengeluarkan biaya mahal
(very expensive)
e. Aturan
pembuktian tidak perlu
Tidak ada pertarungan
yang sengit antara para pihak untuk saling membantah dan menjatuhkan pihak
lawan melalui sistem dan prinsip pembuktian yang formil dan teknis yang sangat
,menjemukan seperti halnya dalam proses arbitrase dan pengadilan.
f. Proses
penyelesaian berdifat konfidensial
Hal lain yang perlu
dicatat, penyelesaian melalui perdamaian, benar-bemar bersifat rahasia atau
konfidensial:
-
Penyelesaian tertutup untuk umum
-
Yang tahu hanya mediator, konsiliator
atau advisor maupun ahli yang bertindak membantu penyelesaian.
2. Hukum
acara menghendaki perdamaian
Sebenarnya
sejak semula pasal 130 HIR maupun pasal 154 RGB mengenal dan menghendaki
penyelesaian sengketa melalui cara damai. Pasal 130 ayat 1 HIR, bertitik tolak
dalam pasal ini sistem yang diatur dalam hukum acara dalam penyelesaian perkara
yang diajukan kepada PN, hampir sama dengan court connected arbitration system:
-
Pertama hakim harus membantu atau
menolong para pihak yang berperkara untuk menyelesaiakan sengketa dengan
perdamaian
-
Selanjutnya apabila tercapai kesepakatan
diantara penggugat dan tergugat kesepakatan itu dituangkan dalam perjanjian
perdamaian yang ditandatangani para pihak, terhadap perjanjian perdamaian
dibuat akta berupa putusan yang dijatuhkan pengadilan yang mencantumkan amar,
menghukum para pihak menepati perjanjian perdamaian.
Kalau
pada hari sidang yang telah ditetapkan kedua belah pihak hadir, maka hakim
harus berusaha mendamaikan mereka (pasal 130 HIR, 154 Rbg). Pada saat inilah
hakim dapat berperan secara aktif sebagaimana dikehendaki oleh HIR. Untuk
keperluan perdamaian itu sidang lalu diundur untuk memberi kesempatan mengadakan
perdamaian. Pada hari siding berikutnya apabila mereka berhasil mengadakan
perdamaian, disampaikanlah kepada hakim di persidangan hasil perdamaiannya,
yang lazimnya berupa surat perjanjian di bawah tangan yang tertulis di atas
kertas bermaterai. Berdasarkan adanya perdamaian antara kedua belah pihak untuk
memenuhi isi perdamaiannya yang telah dibuat antara mereka. Adapun kekuatan
putusan perdamaian ini sama dengan putusan biasa dan dapat dilaksanakan seperti
putusan-putusan lainnya. Hanya dalam hal ini banding tidak dimungkinkan. Usaha
perdamaian ini terbuka sepanjang pemeriksaan di persidangan.
Pada
tanggal 11 September 2003 Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA no. 2 tahun 2003
tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, dengan mencabut SEMA no. 1 tahun 2002
tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai ex
Pasal 130 HIE/154 Rbg, karena rupa-rupanya SEMA no. 1 tahun 2002 tersebut
kurang efektif.
Isi
pokok SEMA no. 2 tahun 2003 tersebut ialah bahwa semua perkara perdata yang
diajukan ke pengadilan tinggi pertama wajib
untuk lebih dulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator (Pasal 2). Di samping itu,
hakim wajib menunda proses
persidangan perkara itu untuk memberikan kesempatan pada para pihak menempuh
proses mediasi (Pasal 3 ayat (2)). Hakim wajib
memberikan penjelasan kepada para pihak tentang prosedur dan biaya mediasi (Pasal 3 ayat (3)). Jika
mediasi tidak menghasilkan kesepakatan, hakim melanjutkan penyelesaian perkara
(Pasal 12 ayat (2)). Penyelenggaraan mediasi yang diselengggarakan di salah
satu ruang pengadilan tingkat pertama tidak dikenakan biaya (Pasal 15 ayat
(4)). Jika penyelenggaraan mediasi diselenggarakan di luar pengadilan dan
menggunakan mediator di luar pengadilan dipungut biaya (Pasal 15 ayat (3), (4)).
Dapat
disimpulkan dari SEMA no. 2 tahun 2003 itu tugas mendamaikan di pengadilan
diserahkan kepada orang lain, bukan kepada hakim yang pada awalnya memeriksa
perkara bahkan kepada orang lain (mediator) di luar pengadilan. Prosedur
perdamaian menurut SEMA no. 2 tahun 2003 akan makan waktu lebih lama daripada
kalau ditangani oleh hakim yang pada awalnya menangani perkara yang proses
mencari mediator. Kalau para pihak menggunakan mediator di luar pengadilan maka
sudah jelas bahwa hal itu akan menambah biaya perkara, yang jelas bertentangan
dengan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan. Kecuali itu sudah ada ketentuan
dalam Pasal 130 HIR/154 Rbg yang jauh lebih praktis dan menghemat waktu karena
ditangani oleh seorang hakim, dan di samping itu juga bersifat imperatif.
DAFTAR
PUSTAKA
Harahap,
Yahya. 2010. Hukum Acara Pedata. Jakarta:
Sinar Grafika. Cetakan ke X
Mertokusumo,
Sudikno. 2010. Hukum Acara Perdata
Indonesia: Yogyakarta: Universitas
Atma Jaya Yogyakarta
aan19.files.wordpress.com/2008/05/0013.doc
(http://klinikhukumindonesia.blogspot.com/2012/09/perlawanan-atas-putusan-verstek.html)